Friday, 5 September 2008

0 komentar

KAJIAN METAMORFOSIS PERFORMANCE ART

0 komentar
Dalam tiga dasawarsa terakhir ini masyarakat dunia termasuk di dalamnya Indonesia, hidup dalam ketergantungannya dengan TV, video, games, komputer dan piranti lunaknya, ponsel hingga internet. Budaya media telah dikonsumsi sebagai hiburan sekaligus fungsional, namun relatif terbatas dipergunakan lebih dari itu, misalnya aktivisme komunitas dan ekspresi individu. Masyarakat telah memasuki wilayah budaya baru dengan rujukan perilaku, kesadaran, bahasa, realitas (cara manusia melihat dunia dan dirinya), norma dan hukum yang belum pernah dikenali sebelumnya. Dalam konteks seni, penggunaannya sering difahami sebagai tawaran kemungkinan baru dalam menciptakan atau mengalami kesenian. Dalam praktiknya, persinggungan seni dan teknologi ini ternyata membangun kegagapan-kegagapan sebagian besar praktisi seni rupa kita. Realitas yang tampak jelas, adanya kegagapan para praktisi seni rupa kita dalam menangkap perkembangan seni rupa dunia yang begitu cepat (berkaitan dengan karya-karya yang bersinggungan dengan teknologi). Persoalan ini diperparah lagi dengan adanya berbagai pendapat masyarakat seni rupa kita yang mempertentangkan praksis seni dan teknologi secara bipolar. Sudah tentu, diskursus tersebut tidak mungkin muncul tanpa sejarah. Seperti yang dikutip oleh Fakhrizal (2005) dari Agung Hujatika Jennong pada diskusi yang berlangsung dalam rangka pameran “Video Sculpture di Jerman Sejak 1963” di ITB, salah satu sebabnya, boleh jadi karena pemahaman umum tentang teknologi sebagai perpanjangan tangan dari sains modern yang dianggap selalu berurusan dengan kepastian rasional dan serba keterukuran dalam logika positivisme. Sedangkan seni atau lebih khusus lagi seni rupa modern, umumnya dilihat sebagai praksis filosofis yang justru identik dengan berbagai ketidakpastian, penafsiran personal dan subyektifitas. Pertentangan bipolar itu juga terkait dengan pandangan khalayak yang di satu sisi memahami teknologi sebagai perwujudan nyata dari cita-cita kemajuan peradaban modern secara konkrit, berdampak pada kehidupan manusia. Sementara di sisi lain, melihat seni sebagai aktualisasi pengalaman batin, intuisi, dunia pra-reflektif manusia dan khasanah rasawi yang tak terjamah. (Agung Hujatika Jennong, 2005) Pemisahan ini tidak terlepas dari ambisi manusia untuk mengejar modernitas, menciptakan spesialisasi dalam bidang-bidang kehidupan manusia demi terwujudnya praktik dan disiplin keilmuan yang otonom. Sejarah sendiri mencatat bagaimana pada paruh pertama abad 20, seni dan teknologi telah menghasilkan puncak-puncak penemuan dalam kebudayaan modern, dimana eksperimentasi dan riset menjadi tulang punggung dalam pencapaian kesejahteraan manusia. Namun berbagai penemuan tersebut semakin memisahkan seni dan teknologi di masa itu hingga menjangkau dalam tataran konsep. Keterkaitan antara keduanya hanya samar-samar terlihat dalam hal keinginan untuk terus menemukan sesuatu yang baru. Tetapi dalam dekade 60-an, terjadi perubahan mendasar dalam konsep tersebut. Kehadiran genre video art mempertemukan dua perangkat tersebut yang bagai dua sisi mata uang logam. Tidak bisa dipungkiri kehadiran kamera, film, dan video telah menciptakan sintesa antara dunia imaji dalam seni dengan perangkat teknologi reproduksi mekanik. Kelahiran fotografi dan sinema telah membawa perubahan besar dalam kebudayaan manusia. Sebuah pendobrakan terhadap tataran konsep pemisahan seni dan teknologi. Salah satu fenomena yang menjadi kritik terhadap seni dan teknologi adalah televisi. Televisi yang hadir dalam dekade 60-an, menjadi sebuah jarkon teknologi informasi yang sangat agresif. Kebutuhan akan televisi telah memicu lahirnya sistem komunikasi yang baru. Sistem komunikasi ini yang mampu mendorong perubahan sosial, politik, ekonomi secara besar-besaran dalam kehidupan manusia. Sejak pertama kali televisi ditemukan telah menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan hiburan, informasi, pendapat bahkan ideologi yang terselubung. Sebetulnya kalau mau dicermati, penemuan-penemuan teknologi telah menyumbangkan sistem bahasa yang baru bagi seni, membuat perkembangan seni tidak mandeg dengan kanon-kanon yang klasik seperti seni lukis dan seni patung saja. Perkembangan arus informasi dan makin gemerlapnya dunia dengan teknologi, seharusnya dilengkapi dengan keterlibatan seni dalam perkenalan dengan manusia. Seni sebagai sebuah imaji batin yang mampu dirasa bersanding dengan penerapan teknologi yang agresif. Dengan tujuan yang sama untuk memajukan budaya manusia sekaligus mensejahterakannya. Memang tak bisa dipungkiri bahwa kecenderungan perkembangan karya seni kontemporer belakangan ini, sangat bersinggungan sekali dengan perkembangan teknologi yang ada, khususnya teknologi informasi dan media rekam. Hal ini terbukti dengan munculnya beberapa genre-genre baru dalam seni rupa kontemporer Indonesia dan dunia yang akhirnya menjadi mainstream sendiri yaitu Seni Media (Media Art) dan Seni Media Baru (New Media Art), seperti : film eksperimental, expanded cinema (termasuk di dalamnya instalasi film, multiprojektion, film performances), video tape, instalasi video, closed circuit installation, video performances, seni komputer. Komputer grafis, animasi komputer, CD-Rom, seni rupa internet dan web, virtual reality, sound art, instalasi multimedia dan - performance interaktif atau yang bukan, radio-net dan tv-net, live broadcast, sampai VJ-Rave. (Peter Zorn, 2005) Tidak seperti genre lainnya yang lahir sejak tahun 1960-an (sebut saja expanded cinema atau video art) dimana perkembangan teknologi informasi begitu berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat sekitarnya, sehingga kelahiran genre seni ini sebagai counter culture terhadap ideologi media massa. Video performance lahir dari sejarah perkembangan performance art itu sendiri yaitu sekitar tahun 1909 lewat manifesto kelompok Futurist di Paris yang beranggota penyair, pelukis, dan pemain teater. Saat itu, kelompok ini mendeklarasikan manifesto mereka, yakni perfomance art sebagai bentuk perlawanan terhadap kemapanan seni yang hanya dapat dikonsumsi oleh segelintir orang kaya dan penguasa. Mereka mencoba meretas batas-batas wilayah konvensi-konvensi bentuk kesenian yang telah ada, seperti seni lukis, seni patung, seni cetak, seni musik, dan seni teater, dengan cara mencampurkan semua bentuk kesenian tersebut pada seni pertunjukan. Dengan menggunakan tubuh sebagai medium, akhirnya performance art ini seperti melakukan dematerialisasi dalam seni.
Performance Art di Indonesia Di Eropa dan Amerika, perkembangan performance art dalam sejarahnya dikaitkan dengan rasa frustasi umum yang terakumulasi oleh Perang Dunia. Ternyata proyek besar mencerahkan umat manusia bernama modernisme itu, membawa manusia pada tindak destruktif. Seni, yang pada tataran paling mendasar selalu berujung pada suatu “keindahan” dan “menyenangkan” , dianggap tidak lagi relevan. Performance Art lahir ketika media-media seni konvensional seperti lukis, patung, teater, musik, maupun tari sudah dianggap tidak bisa lagi menampung ide-ide para seniman. Gejala Performance Art sebetulnya banyak dipengaruhi oleh Dadaisme dan futurisme. Gelombang seni Dada pada jamannya memang banyak menentang kondisi serta nilai sosial ekonomi masyarakat pada saat Dunia seni rupa dianggap stagnan dan hanya berhenti pada materi karena sudah masuk sistem kapitalistik. Banyak pelukis modern pada saat itu lebih berpihak pada kaum bourjois kapitalis, membuat seni menjadi begitu elit hanya ada dan dapat dinikmati di galeri-galeri seni saja. Di Indonesia, muasal perkembangan performance art terbetik pada tahun 1970an lewat Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB), ketika istilah performance art mulai mapan di wilayah barat. Di Indonesia, saat itu istilahnya belum ada namun kecenderungannya sudah dimulai. Ada kondisi yang kurang-lebih sama, yaitu rasa frustasi umum. Tahun 1970an, sebagian kalangan terdidik Indonesia mulai menyadari bahwa fondasi pembangunan rejim Soeharto ternyata rapuh. Dinamika pembangunan terlalu sentralistik. Pola pergerakannya picik. Ketertataan ternyata mengandung pendogmaan. Dalam dunia seni mulai muncul konflik antar generasi. Generasi tua hendak mempertahankan ketertataan yang diyakini benar, sementara generasi muda menghendaki pembaharuan. Pembaharuan selalu bermula dari eksperimen, suatu semangat bermain, mengurai diri dari ikatan, meluaskan penglihatan. Indonesia tahun 1990-an, makin jelas, performance art sangat bersesuaian dengan aktivisme mahasiswa. Mahasiswa, sejalan dengan kaum terdidik lainnya mulai mengupayakan protes atas laju pembangunan yang timpang. Dalam soal seni, kembali, sumber perkaranya berupa ketertataan yang dipaksakan. Sebagian mahasiswa seni lebih menyukai berekspresi di luar ruang kelas. Di luar keharusan-keharusan yang digariskan institusi. Sementara di dalam kelas berkesenian harus disesuaikan dengan kebijakan resmi, di luar kelas, “panggung” yang tersedia merupakan ruang terbuka dan aksi demonstrasi di ruang-ruang publik. Faktor lain adalah kecenderungan mempertemukan berbagai disiplin dalam seni. Para seniman dan penyelenggara kegiatan seni menghasilkan karya dan kegiatan seni yang mempertemukan seni rupa, teater, tari, musik, juga sastra. Pertemuan antar seniman ini cenderung berisi perbincangan kritis tentang realitas, tentang ketidak-adilan, dan tentang seni itu sendiri. Dalam performance art, sesungguhnya kekritisan tidak saja terarah pada realitas, tetapi juga kritis pada seni. Pada awal tahun 2000, performance art di Indonesia mulai diakui keberadaannya dengan diadakannya festival performance art untuk yang pertama kalinya, yaitu Internasional Performance Art Festival (JIPAF) di Teater Utan Kayu Jakarta. Pertengahan tahun 2001 kemudian dilanjutkan dengan Indonesia-Japan Performance Art Exchange , Tour Bandung-Jogja-Jakarta. Tahun 2002 di Bandung berlangsung pula Bandung Performance Art Festival (BAPAF) dan yang terakhir 25-30 Mei 2004 di Bandung berlangsung Konferensi Internasional Association Performance Art Organisers (IAPO). Acara yang diikuti para performers dan sekaligus organiser ini telah menghasilkan beberapa keputusan, salah satunya adalah Bandung (Indonesia) menjadi resident bagi IAPO Asia. Disamping beberapa event performance art besar tersebut telah banyak juga terselenggara program rutin yang diselenggarakan beberapa komunitas performance art di Jogja (Web Action #4) dan Bandung (Jamoe Tjap IKIP). Dalam realitas dunia seni rupa Indonesia, kalau mau mencermati, sebetulnya ada tiga kelompok besar perhatian para pemerhati esthetika dalam mengamati peran dan kedudukan seni dalam pergulatannya dengan bidang-bidang lainnya. Pertama untuk keluhuran budi pekerti (moralitas), kedua untuk mengungkapkan citra peradaban, dan ketiga sebagai pengungkapan makna dan tanda. Karya seni tidak hanya mengungkapkan unsur-unsur yang bertujuan untuk mencapai keindahan yang hanya berada dalam wilayah kesenangan duniawi. Seni juga mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang paling penting, melewati batas-batas etnis dan kebudayaan. Seni harus merupakan ekspresi dari jiwa atas realitas kehidupan yang diamati dan digeluti. Seni bisa menjadi media kritik dalam bentuk lain. Perkembangan pemikiran yang melihat dunia dengan perspektif lain dengan segala metodologinya memberikan kontribusi besar pemahaman atas seni dan ekspresi seni dengan segala manifestasinya. (Syafruddin, 2006; 7) Pendapat di atas juga dikuatkan oleh pendapat Plekhanov (1857-1918) seorang revolusioner sekaligus pendiri Marxisme di Rusia bahwa fungsi seni adalah membantu perkembangan kesadaran manusia, membantu memajukan sistem sosial, maka seni adalah suatu gejala sosial. Karena seni dimulai ketika seorang membangkitkan kembali dalam dirinya sendiri emosi-emosi dan pikiran-pikiran yang telah dialaminya di bawah realitas sekeliling dan menyatakannya dengan bayangan-bayangan tertentu. Sudah dengan sendirinya, bahwa dalam bagian terbesar kejadian, ia melakukan itu dengan sasaran menyampaikan yang telah dipikirkannya kembali dan dirasakannya kembali pada orang-orang lain. Performance art merupakan genre seni yang menempatkan dirinya pada irisan. Ia punya latar dari berbagai disiplin seni, sambil selalu menghindar dari konvensi-konvensi atau kategori-kategori yang sudah mapan. Mereka tidak hanya menerima mentah-mentah warisan nilai dan makna yang telah dibangun oleh para aparatus-aparatus dunia seni rupa sebelumnya, tetapi memproduksi makna baru dengan mendekonstruksi realitas sosial dan kemapanan seni rupa itu sendiri. Dengan begitu performance art berada dalam barisan seni-seni avant-garde (garda depan). Ada istilah lain menyangkut pembaharuan dalam seni: kontemporer. Dalam dunia seni, istilah kontemporer tidak sekedar merujuk pada makna literer, yaitu kekinian. Kontemporer lebih merujuk pada prinsip-prinsip mengkritik, memperluas, bahkan menihilkan prinsip-prinsip yang sudah ada sebelumnya. Performance art juga bersesuaian dengan pengertian ini. Membicarakan performance art adalah membicarakan semangat pembaharuan dalam seni. Satu semangat yang bisa membuat pemirsa tertantang berpetualang. Sebuah petualangan menonton. Pemirsa seperti halnya setiap seniman: selalu melakukan petualangan setiap kali berkarya. "Performance art adalah sebuah penampilan langsung yang mengkombinasikan elemen-elemen dari berbagai cabang seni. Performance art adalah suatu kategori yang punya cakupan cukup luas, berkisar tentang variasi aktivitas, gaya, dan niat. Sebagai perbandingan, dari formal sampai yang memuat hal-hal politis, cara menikmati eksekusi karyanya sangat tergantung pada tindakan yang ditentukan oleh suatu tempat dan penonton. Ini sebuah bentuk seni yang tumpang tindih dan melampaui bentuk-bentuk karya yang menggunakan aksi atau tindakan seperti; happening art, action painting, process art, street art, body art, dan sebagainya. .sebuah performance art ditentukan oleh beberapa cara yang tidak sama dengan teater atau seni tari. (Walker, 1977) Seorang performance artist biasa menggunakan sastra, seni rupa, budaya populer, musik, tari, dan teater, juga video, slides, serta gambar-gambar dari komputer. Sebuah performance bisa terdiri dari satu atau beberapa orang dan mengambil tempat di mana saja dengan durasi sembarang. Performance art sering menggunakan tubuh si seniman sebagai medium utama. Performance itu mungkin bersifat autobiografis atau melontarkan pernyataan politis, terutama dalam kondisi radikal. Performance sering juga menggandeng kegiatan sehari-hari" .Dengan kata lain ia bukan hanya semata-mata penampilan, tapi juga sekaligus tindakan. Persis karena sifat “alaminya”, performance art menolak definisi yang terlalu akurat atau gampangan, yang melampaui deklarasi sederhana bahwa ini merupakan jenis seni yang dihidupkan langsung oleh senimannya. Definisi yang lebih ketat lagi akan dengan segera dinegasi oleh ruang kemungkinan dari perfomance itu sendiri. (Goldberg, 1988) Rumusan inipun sudah harus dielaborasi lagi karena tuntutan jaman. Hal ini terkait dengan persinggungan seni dan perkembangan teknologi, dalam hal ini adalah teknologi informasi, lebih khusus lagi adalah media rekam. Performance art pada dasarnya memang lebih merupakan peristiwa daripada materi. Presentasi langsung merupakan karakter dasarnya. Karya sebenarnya adalah peristiwa yang hanya terjadi sekali, pada saat itu saja. Karya performance memang bisa dipresentasikan berkali-kali. Namun setiap presentasi selalu terikat pada ruang-waktu spesifik. Hingga presentasi kedua, ketiga, dan seterusnya, merupakan karya yang tidak lagi sama, karena ruang-waktunya berbeda.
Fusi Seni dan Teknologi Mendorong Metamorfosis Dalam perkembangan dunia seni rupa kontemporer Indonesia dewasa ini, khususnya karya-karya yang bersinggungan dengan perkembangan teknologi, sebagai contoh adalah New Media Art (Seni media Baru). Dalam konteks seni, penggunaannya sering difahami sebagai tawaran kemungkinan baru dalam menciptakan atau mengalami kesenian. . Fusi seni dan teknologi ini menurut pendapat Hisanori Gogota, kurator Inter Communication Centre (ICC), Tokyo, yang dikutip oleh seorang kritikus Seni media Baru dari Bandung, Krisna Murti menjelaskan bahwa: “Paling utama untuk mentransformasikan pemahaman modern tentang nilai seni. Gerakan Fluxus (1960-an) memasukkan teknologi media dalam eksperimennya, yang banyak menginspirasi seni video dan media baru umumnya. Terobosan interdisipliner yang meniadakan sekat musik, tari, film/video, seni rupa dan teater di satu sisi melahirkan bentuk seni yang kemudian hari bermetamorfosa menjadi video-patung, multimedia performance hingga video instalasi” ( Krisna Murti, 2007) Sebagai salah satu kasus yang menarik adalah metamorfosa performance art menjadi multi media performance dan yang terakhir bermetamorfosa menjadi video performance. Dalam konteks seni rupa, kata performance art ini memang sulit dicari pada katanya dalam bahasa Indonesia, sehingga banyak orang yang menerjemahkannya menjadi seni pertunjukan (performing art). Tentu saja kedua istilah ini sangat berbeda arti. Performing art atau seni pertunjukan lebih dititik beratkan pada jenis seni pertunjukan yang telah ada seperti tari, musik maupun teater, tetapi kalau performance art adalah perkembangan dari conceptual art yang berkembang dalam dunia seni rupa di mana esthetikanya bukan terletak pada materialnya tetapi pada kekuatan konsepnya. Mungkin ada satu definisi yang cukup singkat dan tepat menurut saya, yaitu pendapat Adi Wicaksono yang lebih mengartikan performance art sebagai seni rupa yang menggunakan tubuh sebagai media atau mediumnya. Tetapi setelah bersinggungan dengan teknologi, akhirnya performance art ini telah bermetamorfosis menjadi multi media performance. Dalam perkembangan performance ini, tidak hanya tubuh yang menjadi medianya (meskipun tubuh tetap menjadi media yang paling utama), tetapi juga dikolaborasikan (mixed) dengan teknologi media sebagai penguat pesan seniman/ perupa yang ingin disampaikan (biasanya mengeksplorasi ruang dan cahaya dengan bantuan komputer/ media player yang output visualnya menggunakan LCD Projector). Dalam genre performace ini, kehadiran tubuh masih sangat dominan, hal ini berbeda dengan video performace. Video performance dalam presentasinya, tubuh sudah tidak lagi menjadi bagian, tetapi yang hadir kemudian adalah tubuh yang virtual (maya). Kehadiran tubuh tidak benar-benar nyata, tetapi kehadirannya dapat terasa dari tampilan visual yang keluar dari projector. Di sini, performance art telah termediasi dan bermetamorfosa.
Video Performance; Bergesernya Medium Telah disebutkan bahwa performance art berbentuk peristiwa, artinya semua hal berpotensi menjadi seni dan ruang presentasinya bisa dimana saja. Dalam kehidupan, tidak ada peristiwa dan ruang yang unik. Semua mengalir begitu saja. Manusialah yang menandainya dan terus berupaya meninggalkan jejak-jejak. Menyaksikan peristiwa adalah upaya memaknai. Dengan begitu kelebihan performance art terletak pada keunikannya sebagai peristiwa. Orisinalitas dan aktualitas merupakan obsesi yang umum. Menyangkut seniman, orisinalitas mengandaikan keutuhan subjek penciptanya, dan aktualitas merujuk pada soal kesegeraan dan keutuhan presentasi. Performance art, dengan dihadirkan langsung oleh senimannya pada publik, melalui pengemukaan tubuh, dalam suatu peristiwa, menunjukan strategi paling jitu dalam mengejar orisinalitas dan aktualitas. Prasyaratnya, tentu saja, presentasi dalam ruang-waktu spesifik. Sesungguhnya ruang yang dipilih oleh performance artist untuk mempresentasikan karyanya akan menjelma menjadi “panggung”. Pada saat kegiatan berlangsung, ruang itu dihuni oleh pemirsa. Merekalah publik pada saat itu. Performance artist tampil menghadapi publik tersebut secara langsung. Performance artist selalu berstrategi menarik perhatian publik pada dirinya, membuat kehadirannya menjadi signifikan. Caranya, performance artist juga harus menyadari kehadiran publik. Masing-masing saling menyadari kehadiran. Dalam situasi seperti ini, dengan teknik tertentu, dapat terjadi peristiwa yang unik dan berkesan mendalam, dalam pengertian kesan yang bisa bergaung di masa datang. Karya performance yang baik adalah karya yang berhasil memukau publik. Publik berhasil dipersuasi untuk mengamati tiap rinci. Sebaliknya, publik akan menuntut keunikan peristiwa yang membuatnya bersedia memperhatikan performance itu, rinci demi rinci. Dari penegasan paparan di atas akhirnya muncul sebuah pertanyaan, ketika sebuah performance art sangat bergantung sekali dengan pilihan ruang yang tepat serta keterlibatan publik (audiens atau penonton), sehingga menciptakan sebuah peristiwa yang unik dan dapat memukau publik. Bagaimana itu bisa terjadi kalau performance art itu akhirnya hanya berbentuk rekaman video? Kemampuan memukau publik adalah kemampuan menguasai ruang. Publik yang dibidik bukan hanya pemirsa yang hadir langsung pada saat presentasi, melainkan juga “pemirsa di masa datang”. Dalam kegiatan ini kamera hendak diperlakukan bukan sebagai alat perekam. Kamera diposisikan untuk membawa pemirsa di masa datang hadir di masa sekarang. Kamera dimanfaatkan untuk meluaskan “panggung” dari performance art, yaitu ruang-ruang yang ditempati. Kamera meluaskan ruang hingga melampaui batasan dunia nyata: ia bisa meraih ruang maya dan menyentuh persepsi pemirsa. Kemampuan memukau menjamin penyerapan simpul-simpul perenungan, kamera menjamin ketersebarannya. Dalam video performance, ada kesadaran lain untuk menampilkan performance secara lebih konseptual: adegan performance yang telah dirancang, dihadirkan dalam media video. Mungkin lebih mudahnya seperti eksperimentasi pada teater yang dicoba difilmkan, namun seutuhnya meninggalkan pola performance secara live sendiri, karena kemungkinan adanya pengulangan adegan menjadi ada. Performance yang semula tidak mengenal adanya pengulangan adegan, dengan kesadaran bahwa dalam proses perekamannya dengan video (tidak adanya penonton, tidak adanya keharusan untuk tidak mengulang), menjadi dapat dilakukan berulang-ulang. Entah seutuh gerakannya dari awal, atau dengan melakukan ulangan hanya pada gerakan yang dirasa kurang pas. Ada konsekuensi cut, shooting dan editing seperti layaknya film di sana. Karena performance tersebut dikatakan "jadi" ketika seluruh proses video tersebut juga telah selesai. Kesadaran pengulangan, dalam hal ini bukanlah kelemahan, namun semata adalah kesadaran untuk mengeksplorasi sisi representasi menjadi lebih terasah. Dan nilai-nilai ini kemudian menghadirkan konsepsi lebih jauh. Ketika performance hadir seutuhnya dalam frame realitas nyata serta interaksinya dengan publik, namun kini, performance hadir dalam bentuk video. Sehingga publik tidak terpancing secara real untuk menikmati performance (entah dalam frame stage performance: performance di panggung, dengan publikasi ataupun street perfomance: yang langsung menjemput ruang publik), namun video performance itu sendirilah yang hadir secara lebih personal (dalam bentuk video, yang kuasa putarnya lebih pada penonton), atau pula hadir dalam bentuk pemutaran (layaknya stage performance tanpa manusia nyata), ataupun juga menjemput ruang publik pula (dengan screen atau dinding gedung sebagai layar), ataupun merupakan penggabungan antara video performance dan real performance itu sendiri. Maka dalam konteks video performance, struktur karyanya terbangun dari deretan pencitraan visual yang keluar bersusulan. Seperti halnya dalam video art, penciptaan citra itu pun berlaku pada pola yang sama: penciptaan citra lahir dalam proses digital (mencipta, seperti mencipta animasi), atau mengambil bahan berupa citra lain (citra-citra curian: non-orisinalitas, citra dokumentasi, atau imajinasi perupanya sendiri) yang disesuaikan dengan konseptualitasnya seperti layaknya lukisan. Pemadatan durasi dalam video art sendiri mungkin berlaku sebagai pemadatan citra dalam luas media kanvas dalam lukis, ataupun dimensi dalam seni instalasi.
Kepentingan Pasar dan Partisipasi Internasional Perkembangan seni rupa di Indonesia masa kini secara historis tidak dapat dipisahkan dari berbagai pengaruh global yang menimbulkan kecenderungan-kecenderungan dalam mengadopsi , mengapresiasi, mensintesa pemikiran-pemikiran baru yang tersampaikan baik melalui pendidikan, literatur, media massa, teknologi, hubungan internasional yang semuanya bermuara pada wacana, ideologi, pasar dan praktika seni rupa. Demikian juga performance art dan video performance juga hasil pengadobsian seni rupa barat yang masuk ke indoensia pada dekade 1970-an dan berkembang pesat di tahun 1990-an. Sebagai sebuah seni garda depan (avant garde) seperti uraian di atas, “originalitas” dan keseriusan performance art mendapat tantangan dari kaum kapitalis masyarakat modern. Performance art yang pada awalnya menjadi agen perubahan nilai di masyarakat, oleh mereka dibelokkan menjadi ujung tombak periklanan untuk kepentingan pasar. Hal ini memang tidak bisa dihindari, ketika performance art lahir sebagai seni kontemporer yang didorong oleh post modern, maka dia secara utuh mengikuti seluruh sifat dan karakter dari post modern itu sendiri, salah satunya adalah adanya kebuntuan pemilahan antara seni dan budaya popular. Tidak ada batas yang pasti, karena posmo memang tidak percaya pada kebenaran tunggal. Tidak mengakui “genue seni” lebih tinggi atau serius dari seni yang lainnya, semua dianggap punya nilai sendiri yang harus dihormati. Semua merupakan hasil pekerjaan manusia, sebuah transformasi lingkungan material lewat kerja manusia, bukannya buah dari praktik mistis para jenius. Salah satu aspek dari proses ini adalah bahwa seni menjadi semakin terintegrasi dengan ekonomi keduanya karena digunakan untuk mendorong orang mengkonsumsi melalui peranan besar yang dimainkannya dalam iklan maupun karena seni telah menjadi barang komersial tersendiri. Aspek lainnya adalah bahwa budaya popular postmodern menolak menghargai pretensi maupun kekhasan seni. Oleh karena itu, penjabaran, pemilahan antara seni dan budaya popular maupun persilangan di antara keduanya sudah semakin menyebar. (Strinati, 259) Kecenderungan ini semakin besar ketika dalam industri periklanan sejak tahun 1999 mengenal lahan baru bernama ambient media, yaitu media publikasi yang menggunakan media tradisional (baliho, poster, spanduk, brosur, dll) tetapi menjelajah pada media alternatif yang baru. Kesuksesan kampanye ambient media ini sangat ditentukan pada ketepatan media yang digunakan dan efektivitas pesan yang tersampaikan pada komsumennya. Performance art ditangan mereka terkomodifikasi menjadi karya “kitch” atau seni “palsu”, yang secara hegemonik mampu membuat bias performance art “yang sesungguhnya”. Kitsch memunculkan sebagian dari keyakinan dalam ketidak cocokan tentang antitesis sosial dan optimisme bahwa kita dapat sekedar berpindah dari satu kelas sosial ke yang lain di luar dunia ilusi ke dalam realitas dari realitas mimpi ke dalam tanah yang dipenuhi oleh burung tentang pemenuhan. Namun demikian mungkin dalam sekilas, kitsch adalah “seni yang palsu”. Seni di dalam bentuk yang murah, pemanis, sentimental, sebuah representasi tentang realita yang disalahkan. (Hauser, 596) Performance art yang dulunya menjadi seni garda depan dan sebagai media perlawanan terhadap realitas sosial, ditangan kaum kapitalis telah berubah fungsinya menjadi agen pasar. Di Indonesia dapat kita dapati bentuk ambient media yang menggunakan performance art sebagai media iklan seperti Esia dan Telkomsel (Kartu As) yang sering dijumpai di lampu merah perempatan-perempatan jalan menggunakan kostum menyebarkan brosur produk baru mereka. Atau oleh perusahaan rokok Bentoel yang pada tahun 2004-2005 dalam kampanye iklan produk “Star Mild” mereka melibatkan partisipasi seniman lokal untuk berkompetisi membuat pertunjukan dan pesta kostum dengan warna dominan biru. Terbaru adalah “X-mild”, dalam setiap program acara konser musik yang mereka sponsori pasti dibumbuhi performance art dengan menggunakan jubah hitam-hitam sambil membawa obor berdiri di jalan masuk tempat pertunjukan. Sedangkan seniman “yang asli”, sekarang ini masih menjaga keotentikan spirit performance art. Mereka masih membuat gerakan-gerakan perlawanan. Dalam konteks dunia seni, para seniman performance art sekarang ini masih terus mengkritisi hegemoni para aparatus-aparatus dunia seni rupa. Keseriusan mereka telah mampu membangun aparatus-aparatus penyangga bagi kehidupan dan keberlangsungan performance art dengan jalan membangun jaringan kerja dan festival sendiri di luar event-event besar yang dibangun oleh aparatus seni rupa modern. Kegiatan mereka tidak tampak di galeri seni yang berideologi pasar dalam kontek ekonomi, tetapi di galeri yang berideologi “pasar” wacana. Bahkan satu dekade ini para performer (seniman performance art) telah mampu membuat festival sendiri sebagai ruang silaturahmi dan berbagi pengalaman serta pemikiran. Di Indonesia tercatat ada tiga festival performane art Internasional yang dihadiri oleh performamer dari 5-13 negara setiap tahunnya, yaitu; di Galeri Nasional Jakarta (yang selalu berubah nama kegiatan disesuaikan dengan tema yang diangkat), di Jogja (Performance Art Urbans/ Perfurbans) yang sudah berjalan empat kali, di Solo (Undisclosed Territory Performance Art Event), dan tahun depan bertambah satu lagi di Surabaya (Surabaya Internasional Performance art Festival).
Kesimpulan Kemunculan Performance Art banyak dipengaruhi oleh Dadaisme dan futurisme. Dengan menggunakan tubuh sebagai medium, akhirnya performance art seperti melakukan dematerialisasi dalam seni. Performance art sudah tidak mengacu pada konvensi media seni manapun dan yang paling membuatnya sedikit berbeda adalah interaksi antara performer dengan audien yang ada sehingga sudah tidak ada lagi batasan panggung maupun pemain. Maka dalam Performance Art, menjadi tidak penting pelakunya itu seniman atau bukan. Sedangkan temanya, seperti bentuk-bentuk karya Dada yang sangat bertendensi, performance art banyak berbicara tentang konstelasi politik lokal maupun global. Akhirnya kekritisannya tidak saja terarah pada seni, tetapi juga pada realitas sosial yang ada di sekitarnya. Di Indonesia performance art muncul tahun 1975 seiring dengan adanya Gerakan seni rupa Baru. Pada awal kemunculannya sampai tahun 2000, performance art masih ”murni” menjadi seni garda depan. Kritis terhadap dunia seni rupa Indonesia dan muncul di jalan-jalan bersama mahasiswa dan masyarakat berdemonstrasi memperjuangkan nilai keadilan. Ketika muncul genre baru dalam seni rupa (media art dan new media art) yang lahir dari persinggungan seni dan teknologi, performance art mengalami metamorfosa. Dari performance art multi media ((tidak hanya tubuh yang menjadi medianya, tetapi juga dikolaborasikan (mixed) dengan teknologi media sebagai penguat pesan seniman/ perupa) dan Video Performance (tubuh sudah tidak lagi menjadi bagian, tetapi yang hadir kemudian adalah tubuh yang virtual/ maya). Di sisi lain, dalam realitas sosial yang terjadi di masyarakat kita muncul kecenderungan baru dalam praktik periklanan, yaitu ambient media yang membelokkan arah perjuangan performance art dari seni garda depan menjadi ujung tombak pasar. Di mata para praktisi periklanan sebagai salah satu aparatus kapitalis, performance art menjadi satu peluang media iklan alternatif yang dianggap cukup efektif untuk mempengaruhi masyarakat dalam kampanye produk tertentu.
Oleh: Satriana Didiek Isnanta, S.Sn
(Tulisan ini sudah diterbitkan di jurnal ilmiah Ornamen (UK. Petra Surabaya)
DAFTAR REFERENSI Admin, Tentang Video Art, dalam http://endonesa.net/articles.php? id=4&page=3, 27/05/2003 Atkins, Robert, Art Speak, A Guide to Contemporary Ideas, Movements, and Buzzwords, New York, Abbiville Press Publisher, 1990. Asikin Hasan, Seni Media Baru, Apanya yang Baru?, dalam Majalah Seni Rupa Visual Art, Edisi Agustus/ September 2004. Barker, Chris; Cultural Studies; Teori dan Praktik, PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta, 2005 Fakhrizal, Sinergi Seni dan Teknologi Menuju Peradaban Manusia Yang Unggul, dalam H.U.Kompas, Sabtu, 18 Juni 2005. Goldberg, Rose Lee, Performance Art – From Futurism to the Present , London, Penerbit Thames and Hudson, 1988 Heru Hikayat, Occupying Space, dalam pengantar Festival Performance art “Occupying Space” di Lombok, 2007 Krisna Murti, Media Baru dan Seni Media Baru, dalam http://www.goethe.de/ins/id/lp/prj/art/plf/med/id1625438.htm Plekhanov, Georgy V, Seni dan Kehidupan Sosial, Bandung, CV. Ultimus, 2006 Satriana Didiek, Performace Art; Seni yang Menghajar Emosi, dalam H.U. Bengawan Pos, Minggu, 5 Desember 2004 Satriana Didiek, Persinggungan Seni dan Teknologi Sebagai Ide Penciptaan karya Video Performance, dalam Laporan Studi Penciptaan Karya Seni di ISI Surakarta, 2007 Syafruddin, Telaah Estetika, dalam buku pegangan mata kuliah Estetika, PPs ISI Yogyakarta, 2006 Strinati, Dominic, Popular Culture; Pengantar Menuju Budaya Populer, Yogyakarta, Bentang, 1995 Mikke Susanto, Membongkar Seni Rupa, Jogja, Galang Press, 2001. Walker, John A, Gloosary of Art, Architecture and Design Since 1945, London, Clive Bingley Ltd, 1977. Zorn, Peter, Perkembangan seni rupa media di Jerman, dalam www.goethe.de /ins/id/lp/prj/art/ksd/med/id43041.htm, 2005. NN, Ambient Media, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Ambient_media

KAJIAN DESAIN TOYOTA KIJANG DAN PENGUATAN CITRA

0 komentar
Perubahan cepat dalam teknologi informasi telah merubah budaya sebagian besar masyarakat dunia, terutama yang tinggal di perkotaan. Masyarakat di seluruh dunia telah mampu melakukan transaksi ekonomi dan memperoleh informasi dalam waktu singkat berkat teknologi satelit dan komputer. Pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar mampu memperoleh kekuasaan melalui kekuatan militer dan pengaruh ekonomi. Bahkan perusahaan trans-nasional mampu menghasilkan budaya global melalui pasar komersiil global. Perubahan budaya lokal dan sosial akibat revolusi informasi ini tidak dapat dielakkan. Masyarakat perkotaan yang memiliki akses terhadap informasi merupakan kelompok masyarakat yang langsung terkena pengaruh budaya global. Akses informasi dapat diperoleh melalui media massa cetak maupun elektronik, internet, dan telepon. Masyarakat perkotaan dipengaruhi terutama melalui reproduksi ’meme’ yang dilakukan oleh media massa. Asal muasal konsep ‘meme’ sendiri, sebenarnya berawal dari kekecewaan Richard Dawkins terhadap rekan-rekannya ahli biologi yang mencoba mereduksi perilaku budaya menjadi kepentingan-kepentingan biologis organisme manusia. Bagi Dawkins, untuk mempelajari evolusi peradaban manusia, kita harus memulai dengan membuag konsep gene sebagai satu-satunya penyebab evolusi manusia. Sedangkan ‘meme’, menurut Richard Dawkins yang dikutip oleh Armahedi Mahzar (2006) adalah: Meme adalah sebuah replikator, yaitu mahkluk yang memperbanyak diri. Jika gene diturunkan melalui reproduksi biologis, meme diturunkan melalui proses pembelajaran budaya yaitu peniruan. Meme sebagai unit transmisi kultural, seperti gene sebagai unit transmisi biologis, mengalami mutasi, kombinasi, dan seleksi oleh lingkungan alam. Contoh-contoh yang diberikan oleh Richard Dawkins sebagai meme adalah lagu, gagasan, ucapan populer, busana, cara-cara membuat keramik dan arsitektur. Semua unsur budaya ini, menurut Dawkins, terletak pada otak manusia, seperti gene terletak di sel organisme. Konon, kata Dawkins, meme ini meloncat dari satu otak manusia ke otak manusia lainnya melalui proses peniruan. (Armahedi Mahzar, 2006; 57) Kembali ke dalam konteks persoalan, masyarakat konsumen Indonesia mutakhir tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya seperti shopping mall, industri waktu luang, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri kuliner, industri nasihat, industri gosip, kawasan huni mewah, apartemen, iklan barang-barang mewah dan merek asing, makanan instan (fast food), serta reproduksi dan transfer gaya hidup melalui iklan dan media televisi maupun cetak yang sudah sampai ke ruang-ruang kita yang paling pribadi. Hal ini terjadi di banyak masyarakat perkotaan Indonesia. Budaya global seperti di atas telah menggusur budaya serta nilai-nilai kearifan lokal Indonesia. Contoh untuk hal ini dapat kita lihat pada masyarakat keraton Indonesia sekarang. Dalam dua abad terakhir tata masyarakat kerajaan mulai memudar. Kedudukan bangsawan dikudeta oleh kaum pedagang dengan senjata teknologi dan uang. Legitimasi istana yang bersemboyan kawula gusti kini diinjak-injak oleh semangat individualisme, hak asasi, dan kemanusiaan. Mitos dan agama digeser sekularisme dan rasionalitas. Tata sosial kerajaan digantikan oleh nasionalisme. Akibat runtuhnya kerajaan yang mengayomi seniman-cendekiawan istana, berantakanlah kondisi kerja dan pola produksi seni-budaya istana. Contoh yang sangat nyata dari persoalan di atas adalah realitas sosial yang berkembang di kota Solo. Solo atau secara administratif pemerintahan disebut kotamadya Surakarta, adalah pusat budaya yang menjadi sumber dan barometer perkembangan seni budaya Jawa. Hal ini terkait dengan adanya dua keraton di Surakarta yaitu Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran. Sebagai sebuah kota yang berkembang dengan sistem perekonomian modern yang bertumpu pada sektor perdagangan dan industri, telah memunculkan permasalahan umum seperti kota-kota lainnya yaitu masalah urbanisasi yang akhirnya membentuk budayanya sendiri yaitu budaya urban. Budaya urban ini berkembang dari sikap perlawanan dalam bentuk sub-sub culture yang lahir. Sub-sub culture merupakan resistensi gaya hidup, yang dibagi menjadi dua, yaitu alternatif dan deferensiasi terhadap budaya massa. Disamping tentu saja terjerumusnya sebagain besar masyarakat Solo ke dalam budaya massa, hal ini terkait dengan rendahnya tingkat kesadaran masyarakat Solo terhadap politik hegemoni kapitalis barat. Perkembangan ini dilatar belakangi oleh sistem perekonomian kapitalis yang dianut kebijakan perekonomian Indonesia sekarang. Dari kedua sikap resistensi tersebut di atas, akhirnya memunculkan gaya hidup baru dalam sosial masyarakat Solo. Salah satu contoh resistensi gaya hidup yang terlihat dalam kehidupan sosial masyarakat Solo ini adalah sikap mereka terhadap tawaran produk-produk otomotif yang ada. Resistensi gaya hidup yang cenderung alternatif contohnya adalah muncul tren kelompok-kelompok biker yang ada di Solo yang justru tertarik pada jenis produk lama yang kemudian mereka modifikasi sendiri, misalnya Vespa, VW, dan lain sebagainya. Sedangkan sikap deferensiasi, yaitu sikap masyarakat yang sadar betul kepada realitas sosial tentang budaya massa dan konsumen di sekitar mereka, tetapi mereka enak saja mengikuti mainstrem besar itu, tetapi tidak mau larut di dalammnya, sehingga mereka merasa perlu pembeda dengan yang lainnya, misalnya club mobil Honda Jazz. Mekipun Honda Jazz ini sangat populer, tetapi mereka mau bersusah payah memberi tanda untuk pembeda dengan Honda Jazz lainnya yaitu dengan membuat modifikasi baik dalam cat maupun penambahan elemen estetik desain interior. Tulisan ini tidak akan membahas itu lebih dalam tetapi akan membahas produksi, distribusi dan pencitraan mobil Kijang dari Toyota yang diterima pasar Indonesia. Fenomena ini sangat menarik dan patut dikaji, karena menurut penulis masalah ini begitu luar biasa. Hal ini terkait dengan keberhasilan mereka menjadi mobil pilihan nomer satu bagi masyarakat Indoenesia, ini terbukti pada tahun 2006 saja telah terjual 93.109 unit. Kasus ini lebih menarik lagi kalau mengkomparasi dengan minat beli masyarakat negara lain. Di seluruh dunia penjualan mobil segmen terbanyak adalah pada penjualan sedan, tetapi di Indonesia adalah Kijang. Dari fenomena inilah dasar pemikiran penulis untuk mengkaji aspek-aspek apa saja yang membuat masyarakat Indonesia lebih memilih Kijang sebagai sarana transportasi mereka, karena hal ini membuktikan bahwa pasar di setiap negara punya ciri khas masing-masing, tinggal bagaimana para pemain menyesuaikan diri dengan pasar tersebut. Sejarah dan Perkembangan Desain Mobil Kijang Desain merupakan kata baru peng-Indonesiaan dari kata design (bahasa Inggris), istilah ini merupakan pengilmuan kata merancang yang penggunaannya dinilai terlalu umum dan kurang mewadahi aspek keilmuan secara formal. Sejalan dengan itu, untuk bidang arsitektur dan rekayasa, kerapkali pula menggunakan istilah rancang bangun.dalam kurun tiga puluh tahun (1971) sejak istilah ini dipergunakan di lingkungan akademis dan profesi , kata desain’ telah mantap sebagai satu istilah budaya yang melingkupi berbagai aspek kegiatan di masyarakat luas. Perkembangan ruang lingkup desain ini seperti apa yang ditulis oleh Widagdo (1982), yaitu salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud , serta merupakan produk dari nilai –nilai yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Sebagai produk kebudayaan , disain tidak terlepas dari fonemena kebudayaan yang lain, selain sistem nilai yang bersifat abstrak dan spiritual, disain juga selalu terkait dengan sistem ekonomi dan sistem sosial. Sedangkan asal kata desain sendiri menurut Agus Sachari adalah: Asal kata desain secara estimologis berasal dari kata designo (Itali) yang artinya gambar. Kata ini kemudian diberi makna baru dalam bahasa Inggris pada abad ke 17, yang dipergunakan untuk membentuk school of design tahun 1836. Makna baru tersebut dalam praktek kerap kali semakna dengan craft (kerajinan), kemudian atas jasa Ruskin dan Morris,- dua tokoh gerakan anti industri di Inggris pada abad ke-19 , kata ‘desain’ diberi bobot sebagai art and craft, yaitu paduan antara seni dan keterampilan. (Agus Sachari dan Yan Yan Sunarya, 2002; 2) Kembali kepersoalan Toyota Kijang, kendaraan ini didesain sebagai kendaraan niaga dan keluarga, buatan Toyota dan terpopuler di kelasnya. Kijang hadir di Indonesia sejak tahun 1977 dan saat ini merupakan model Toyota yang paling laku di negara tersebut. Kini mobil ini dapat ditemukan dengan mudah di seluruh pelosok Indonesia. Kesuksesan Kijang telah mengakibatkan munculnya mobil-mobil sejenis yang meniru konsepnya (terutama dari segi nama), misalnya Isuzu Panther dan Mitsubishi Kuda. Selain di Indonesia, sebelum hadirnya generasi "Innova", Kijang juga dijual di Malaysia dengan nama "Unser". Dari generasi pertama tahun 1977 sampai generasi terakhir terakhir (Innova) telah tercatat sebagai mobil yang paling laris di Indonesia, bahkan tahun 2003 saja telah terjual 1.000.000 unit. Untuk lebih detailnya, penulis telah mengumpulkan dari berbagai sumber dalam rangka menyusun sejarah mobil Kijang, seperti di bawah ini. Generasi I (1977-1980) Kijang pertama kali muncul pada tahun 1977. Saat diluncurkan, ada keraguan dari perancangnya sendiri apakah Kijang bisa diterima pasar karena saat itu Mitsubishi Colt masih dominan. Kijang ternyata menjadi populer. Generasi I merupakan kendaraan pickup dan berbentuk kotak. Model ini sering dijuluki "Kijang Buaya" karena kap mesinnya yang dapat dibuka sampai ke samping. Kijang generasi ini diproduksi hingga tahun 1980. Pada tahun pertama peluncurannya, produksi Kijang hanya 1.168 unit. Tahun berikutnya, 1978, jumlahnya meningkat menjadi 4.624 unit. Setelah itu, jumlah produksi Kijang terus meningkat dari tahun ke tahun. Kehadiran Kijang sebagai kendaraan multifungsi atau serbaguna yang mudah perawatannya itu membuat permintaan terus meningkat. Toyota Kijang lahir sebagai kendaraan dengan konsep Basic Utility Vehicle. Cocok sebagai kendaraan serba guna dan mudah untuk dirawat. Sejalan dengan regulasi pemerintah Indonesia yang menerapkan konsep pembangunan ekonomi melalui pengembangan motorisasi dan otomotif di Indonesia khususnya melalui konsep Kendaraan Bermotor Niaga Serbaguna (KBNS). Diperkenalkan pertama kali pada tahun 1977, Kijang ini diproduksi hingga 1168 unit yang berkembang pada tahun berikutnya menjadi 4624 unit dan terus berkembang pada tahun-tahun selanjutnya pada masanya. Bentuknya, mobil dengan kode KF10 ini nyaris berbentuk kotak buah yang ditempeli 4 buah roda dengan jendela dari samping dari terpal plastik. Kijang Generasi I ini dikenal masyarakat sebagai Kijang Buaya bukan karena dipakai untuk mengangkut kulit buaya. Namun model buka-tutup kap mesin depan pada hidung mobil (bonnet) yang mirip dengan mulut buaya bila kap mesin depan dibuka. Rancangan awal kendaraan ini benar benar seadanya. Jangan bayangkan pintu elektrik type 807 yang lazim dikenal pada mobil-mobil sekarang yang bisa dibuka dengan satu sentuhan tombol. Kijang ini memiliki pintu yang seolah-olah ditempelkan begitu saja dengan badannya dengan engsel pintu yang mirip engsel pintu rumah yang berbunyi mendecit bila dibuka.Terlebih lagi pada saat itu, pintu mobil tidak dilengkapi kunci terlebih-lebih alarm sebagai sistem keamanannya meski pada generasi selanjutnya yang sudah dimodifikasi, dilengkapi dengan kunci pintu serta engkol pintu yang masih mirip pintu rumah serta kaca pada pintu mobil. Posisi pengemudi pada kijang ini terletak terlalu ketengah dengan tongkat perseneling untuk transmisi mesin yang sulit dijangkau. Mesin yang digunakan menggunakan mesin Corolla pada jamannya dengan tipe 3k berkapasitas 1200 cc dengan transmisi 4 percepatan. Selain keluar dengan tipe mobil bak terbuka (pick up), mobil kijang ini dimodifikasi menjadi mobil penumpang terutama dilakukan oleh perusahaan perusahaan karoseri mobil seperti halnya mobil mobil niaga pada masa itu dimana rancangan bodi tidak ditangani pabriknya langsung. Sebagai contoh, mobil ini digunakan sebagai mobil penumpang angkutan umum di kota Balikpapan pada tahun-tahun 1980-1986. Generasi II (1981-1985) Generasi II mulai dijual pada September 1981. Bentuk model ini tidak terlalu berbeda dibandingkan dengan generasi sebelumnya, namun memiliki beberapa perubahan, di antaranya adalah peningkatan kapasitas silinder mesin menjadi 1.300 cc (naik 100 cc). Kapasitas ini kemudian dinaikkan lagi hingga 1.500 cc. Mobil ini, walaupun disebut-sebut memiliki banyak perubahan, bentuknya masih ada kesamaan dengan kijang buaya. Lampu mobil masih bulat di samping depan kanan-kiri dan gril masih sederhana dengan tulisan TOYOTA pada bagian depan. Garis pada bonnet juga masih simpel dan curam. Meski bukaan pada tutup kap mesin tidak lagi bukaan penuh hingga bagian tepi hidung mobil (bonnet) seperti halnya kijang sebelumnya. Mobil dengan kode rangka KF20 ini akrab sebagai Doyok (sebutan bagi sebuah serial kartun bertokoh Doyok pada harian pos kota) sehingga dikenal juga sebagai Kijang Doyok. Pintu lebih manis dengan dilengkapi kaca dengan engsel tidak lagi mirip engsel pintu rumah dan dilengkapi kunci pada tahun 1982. Dengan mesin 4K berkapasitas 1300 cc, transmisi masih 4 percepatan. Suspensi masih double wishbone dengan per daun pada bagian depan dan per daun under axle (dibawah gardan) pada bagian belakang mobil. Perjalanan mobil ini juga diiringi perkembangan baru seperti halnya disempurnakannya transmisi dan diferential sekaligus menambah booster rem pada tahun 1983. Toyota juga dikenal dalam perencanaan produknya sampai 5 tahun berikutnya yang dapat dilihat melalui pengembangan mobil ini. Pada tahun 1984 mengadakan perubahan pada gril dan bumper. Sampai tahun 1985, permintaan mobil ini tetap tinggi, sampai akhirnya Toyota melakukan perubahan pada mesin yang kemudian memakai tipe 5K dengan kapasitas 1500 cc namun irit dalam pemakaian. Generasi III (1986-1996) Pada tahun 1986 model generasi ketiga dilempar ke pasaran. Kijang generasi ini bentuknya lebih melengkung pada lekukannya sehingga tampak lebih modern. Model ini hingga saat ini masih banyak digunakan di jalanan di Indonesia meski tidak lagi diproduksi. Pada generasi ini, konsep kijang sebagai kendaraan angkut mulai bergeser sebagai kendaraan penumpang sekalipun banyak Kijang generasi sebelumnya juga dimodifikasi sebagai kendaraan penumpang. Pada masa ini, bisa dikatakan sebagai generasi kejayaan Kijang sebagai mobil penumpang, terutama sebelum banyak mobil penumpang Built Up impor meramaikan pasar kendaraan di Indonesia serta puncak dominasi Toyota atas model-model kuat seperti Mitsubishi Colt L300 dan minibus tanpa bonnet lainnya seperti Suzuki Carry dan Daihatsu Zebra dimana Kijang menjadi pilihan kuat konsumen saat itu. Toyota mengeluarkan dua tipe Kijang pada generasi ini yakni tipe Kijang Super (1986-1992) dan Kijang Grand (1992-1996) dengan memiliki life cycle cukup panjang (hampir satu dekade) dibandingkan generasi lalu. Desain mobil ini memiliki bentuk lebih manis dan halus dibandingkan generasi lalu yang kaku mirip kotak sabun. Teknologi full pressed body diperkenalkan untuk menekan penggunaan dempul dalam proses pembuatannya hingga 2-5 kg dempul per mobil. Mesin masih memakai tipe 5K namun memiliki daya kuda (horse power) yang lebih tinggi yakni 63 hp dari sebelumnya 61 hp. Transmisi menggunakan 5 percepatan, yang sebelumnya memakai 4 percepatan. Setelah Agustus 1992, Toyota memasuki generasi perbaikan bodi mobil yang disebut sebagai Toyota Original Body. Sebuah proses pembuatan bodi mobil dengan mesin press dan metode las titik. Sampai saat ini, bisa dikatakan satu-satunya Kijang yang bebas dempul. Sementara untuk versi Grand terdapat berbagai perubahan khususnya pada lampu depan, gril dan penambahan double blower juga ditambahkan power steering pada kemudi yang meringankan pengemudi. Dan sampai saat ini, Kijang jenis ini (Super maupun Grand) masih banyak di pasaran konsumen dan masih dihargai mahal. Generasi IV (1997-2004) Setelah sepuluh tahun bertahan dengan rancangan generasi ketiga, Kijang meluncurkan model berikutnya dengan perubahan pada eksterior dan interiornya yang lebih aerodinamis. Model ini akrab dipanggil "Kijang Kapsul". Mulai generasi keempat kijang ini, dominasi Jepang semakin besar. Kalau sebelumnya Toyota Astra Motor memanfaatkan perakitan bodi mobil banyak menggunakan karoseri. Pada generasi ini sudah dikatakan menyiratkan mobil yang sesungguhnya. Desainnya membulat seperti kapsul dan lebih aerodinamis dan menjadi loncatan desain pada masanya. Pada kijang yang dikenal sebagai kijang baru ini, Toyota mengeluarkan dua tipe mesin yakni Mesin bensin 1800cc (tipe 7K) seperti generasi-generasi sebelumnya dan Mesin diesel 2500cc (tipe 2L) yang membuat persaingan dengan Isuzu Panther untuk mobil keluarga bermesin diesel yang saat itu mendominasi pasaran. Pada Kijang versi tahun 1997-2000, mesin bensin menggunakan karburator, baru pada akhir tahun 2000 tersedia mesin bensin dengan sistem injeksi elektronik, Electronic Fuel Injection(EFI). Ada dua pilihan untuk mesin bensin EFI, yaitu 7K-E dengan kapasitas 1800cc dan 1RZ-E dengan kapasitas 2000 cc. Meskipun mesin 1RZ-E secara teknologi lebih canggih jika dibandingkan dengan mesin 7K-E, namun mesin bensin 2000cc ini kurang laku di pasaran indonesia karena bahan bakarnya dinilai lebih boros dibandingkan dengan tipe 7K-E. Dan terakhir pada generasi ini muncul New Kijang dengan merubah desain lampu dan seatbelt (sabuk pengaman) pada jok penumpang bagian tengah. Selebihnya hampir sama dengan sebelumnya. Generasi V (2004-saat ini) Kijang kembali diperbaharui pada tahun 2004 dan dijual dengan nama "Kijang Innova". Selain di Indonesia, model ini juga dijual di luar negeri dengan nama "Innova" (tanpa "Kijang"). Model ini mengalami perubahan yang cukup besar dibandingkan dengan model sebelumnya. Jika konsep awal Kijang generasi pertama adalah basic utility vehicles atau kendaraan sederhana, maka Kijang generasi V ini bukanlah kendaraan sederhana lagi namun dapat dikategorikan sebagai kendaraan mewah. Bentuknya sudah jauh lebih modern terutama bagian depannya yang tidak lagi menampakkan sisa-sisa bentuk lekukan tajam seperti pada model-model sebelumnya. Kijang ini dikeluarkan oleh Toyota Astra Motor pada akhir tahun 2004. Mobil ini keluar dengan model mobil keluarga masa kini dengan jenis MPV (Multi Purposes Vehicle) masa kini dengan bodi yang lebih aerodinamis dibandingkan generasi sebelumnya dengan kenyamanan mobil sedan. Posisi pengendara cukup pas, letak shift knob terjangkau dan panel instrumen yang user friendly. Menggunakan Mesin VVT-i 2000 cc dengan type 1TR-FE 16 katup DOHC menggantikan tipe K/RZ pada generasi sebelumnya. Dirancang dengan sistem Direct Ignition System (DIS) dan penerapan teknologi pedal gas tanpa kabel atau throttle Control System-inteligent). Posisi mesin membujur dengan gerak roda belakang (rear wheel system). Menggunakan suspensi independen double wishbone dengan 4 per keong (coil spring) ditampah lateral rod rigid axle pada bagian belakang yang meredam guncangan senyaman sedan. Sasis masih menggunakan ladder bar namun beban suspensi didistribusikan secara merata keseluruh bodi mobil sehingga body roll dan pitching semakin kecil atau sudut geometri suspensi lebih bagus ketimbang kijang sebelumnya karena suspensi jatuh pada titik yang pas antara panjang dan lebar mobil. Koreksi kemudi pada tikungan cukup akurat dan stabilitas arah yang lebih bagus karena menggunakan model rack-and-pinion dengan engine speed sensing power steering sehingga mobil mampu dikendalikan dalam kecepatan 120 km/j pada tikungan S maupun belokan memutar 270 derajat. Transmisi menggunakan transmisi otomatis ataupun transmisi manual. Dari uraian di atas sangat terlihat sekali bahwa perkembangan desain sebuah mobil tidak hanya pada bentuknya yang bisa mencitrakan sesuatu tetapi juga diiringi oleh beberapa aspek lainnya yaitu perkembangan teknologi otomatif itu sendiri. Tetapi kalau mau mencermati sebetulnya dari dua aspek tersebut di atas dapat dipilah menjadi dua bagian yaitu pertama masalah pencitraan yang berkaitan erat dengan status sosial tertentu bagi pemakaianya juga masalah kenyamanan dan keamanan dalam mengendara. Pencitraan ditulis pertama, karena menurut penulis bahwa aspek pencitraan ini sebetulnya lebih dominan dari pada fungsinya. Hal ini seperti apa yang dikutip oleh Agus Sachari (2002) dari YB. Mangun Wijaya. Citra merupakan dimensi yang lebih tinggi dibanding guna, dimensi ini bersumber pada jatidiri yang mendalam dan berkualitas. Citra mewartakan mental dan jiwa para pemilik dan pembuatnya sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa citra adalah sebuah pribadi yang terwujud pada karya seni, arsitektur atau karya desain lainnya. (Agus Sachari, 2002;45) Maka seorang perancang mobil tidak akan mengalami kesulitan ketika merumuskan aspek–aspek teknis kendaraan rancangannnya. Namun , ketika harus merumuskan gaya mobil yang sesuai dengan selera masyarakat, gaya mobil itu harus mengandung imaji dan membangun citra masyarakat agar memiliki pasar yang tinggi. Mobil, Pencitraan, dan Gaya Hidup Gaya hidup selalu berkaitan dengan upaya membuat diri eksis dalam cara tertentu dan berbeda dengan yang lain. Di sini ada prilaku konsumsi yang merupakan imbas posmodern, dimana orang berada dalam kondisi selalu dahaga, dan tak terpuaskan. Suatu pola konsumsi yang dengan cerdik dibangkitkan oleh produsen, melalui pencitraan yang menjadi titik sentral sebagai perumus hubungan sosial. Citra (image) kemudian menjadi bahasa komunikasi sosial di dalam masyarakat konsumen, yang di dalamnya telah diciptakan klasifikasi dan perbedaan sosial menurut kelas, status, dan selera. Dalam pemasaran menurut Audifax (2006), kita akan mengenal ini ketika mendalami masalah segmentasi. Citra tersebut dapat dicabut dan dicangkokkan di tempat lain (eklektik, hibrid, kitsch) yang merupakan strategi pencitraan dari budaya visual posmodern. Di sini masyarakat didekonstruksi secara sosial keranjingan membeli citra ketimbang produk. Citra-citra yang mampu membuatnya tampak berbeda mengalami kebernilaian dalam keberbedaan itu. Dalam pemasaran ini dikonseptualisasi dalam strategi posisioning dan deferensiasi. (Audifax, 2006; 109) Masih menurut Audifax (2006), tatanan sosial modern membutuhkan perlengkapan yang kompleks berupa deferensiasi dan pelaksanaannya secara cermat. Identitas sosial ini pertama, disampaikan dengan menggunakan istilah pilihan-pilihan (choice). Sikap, nilai dan cita rasa yang merupakan karakteristik anggota kelompok sosial baru ini , diidentifikasi dengan sendirinya sebagai hal yang penting. Sehingga dapat diterima bahwa citarasa seseorang merupakan tanggung jawab terhadap penilaian orang lain. Kedua, pilihan-pilihan tersebut merupakan pilihan kultural, atau lebih persisnya, terfokus pada wilayah-wilayah kehidupan yang merupakan bagian dari aktivitas waktu luang (leisure) atau konsumsi. Sedangkan yang ketiga, betapapun personalnya nilai-nilai dan cita rasa yang diekspresikan, mereka jatuh ke dalam pola-pola khusus yang akhirnya menghubungkan mereka sendiri dengan karakter sosio-struktural lainnya. Pada titik ini, menjadi masuk akal ketika permintaan akan kebutuhan (need) itu menjelma menjadi keinginan (want). Sehingga tanpa sadar masyarakat modern yang telah dimassakan ini telah menjadi masyarakat konsumen. Hal ini adalah strategi kebudayaan dan kapitalis barat yang bertujuan untuk tetap melanggengkan posisi mereka agar tetap di atas. Kalau merujuk teori Gramsci yaitu konsep hegemoni, hal tersebut merupakan usaha hegemoni barat terhadap non barat atau dipersempit lagi adalah kaum kapital (produsen) dengan masyarakat (konsumen), seperti yang dikutip Dominic Strinati dari Simon Ransome (1992). Gramsci menggunakan konsep hegemoni untuk menerangkan berbagai macam cara kontrol sosial bagi kelompok sosial yang dominan. Dia membedakan antara pengendalian koersif yang diwujudkan melalui kekuatan langsung atau ancaman kekuatan, dengan pengendalian konsensual yang muncul ketika individu-individu ”secara sengaja” atau ”secara sukarela” mengasimilasikan pandangan dunia atau hegemoni kelompok dominan tersebut; sebuah asimilasi yang memungkinkan kelompok itu untuk bersifat hegemonik. (Ransome, 1992;150) Hal ini sejalan dengan pemikiran Adorno yang dikutip oleh Dominic Strinati (2004) tentang fungsi kapitalisme. Fungsi kapitalisme adalah untuk menstadarisasi komoditas. Standarisasi melibatkan petukaran bagian-bagian bersama-sama dengan individualisasi semu. Bagian dari jenis-jenis mobil dapat dipertukarkan dengan bagian-bagian mobil lain berdasarkan standarisasi, sementara pengunaan dgaya atau individualisasi semu-seperti penambahan sirip belakang pada mobil Cadillac-membedakan mobil-mobil anatar satu dengan yang lain , serta menyembunyikan kenytaan bahwa standarisasi tengah terjadi. (Dominic Strinati, 2004; 78) Standarisasi, konsep politik hegemoni serta pergeseran nilai dari kebutuhan menjadi keinginan yang dibangun oleh kapitalisme telah membentuk masyarakat modern menuju masayarakat masssa yang sangat konsumtif. Dalam menilai sebuah makna produkpun juga telah bergeser, tak terkecuali mobil. Mobil yang fungsi awalnya hanya merupakan alat angkut yang tidak ada bedanya dengan gerobak telah menjadi satu penanda pencitraan kelas sosial bagi masyarakat modern sekarang, tak terkecuali masyarakat Solo. Mobil berbagai merk dan jenisnya ini ternyata fungsi dan fasilitas serta unsur yang berhubungan dengan teknologi otomotifnya tidaklah jauh berbeda. Justru yang membuat mobil ini berbeda terletak pada desain bentuk dan interiornya. Desain bentuk inilah yang mampu membuat pencitraan bagi klasifikasi kelas sosial bagi pemakaianya, disamping tentu saja branded produknya. Standarisasi ini dalam prakteknya juga mempengaruhi estetika, sehingga dalam perkembangan estetika barat telah mampu membelah estetika itu menjadi beberapa bagian sesuai dengan standarisasinya, yang tentu saja hal ini terkait kuat dengan kapital. Dari standarisasi inilah akhirnya muncul kelas-kelas sosial sesuai dengan standarisasi segmennya. Misalnya mobil sedan BMW tentu kelasnya sangat berbeda dengan mobil Suzuki Carry. Kalau BMW segmennya adalah kaum kelas atas, sedangkan Suzuki Carry untuk segmen kelas menengah-bawah. Akhirnya terjawab sudah kenapa Toyota Kijang telah mampu menjadi produk otomotif yang tingkat penjualannya tertinggi di Indonesia. Hal ini tak lepas dari keberangkatan dari desain perancangan awalnya yang lebih mengutamakan fungsi daripada sibuk membangun pencitraannya. Model Kijang yang berfungsi ganda, yaitu sebagai kendaraan niaga dan keluarga. Apalagi ditambah dengan interiornya yang lapang membuat minat masyarakat untuk membelinya semakin meningkat. Hal ini terkait dengan sistem kekeraban dan hubungan sosial antar individu dalam budaya agraris masyarakat Indonesia yang cukup erat, logikanya adalah semakin banyak yang bisa naik semakin banyak pula relasi sosial yang terjalin. Realita ini sangat berbeda dengan konsep perancangan mobil sedan misalnya, konsep mobil sedan ini jelas sekali menggunakan estetika dan latar belakang budaya barat yang bersifat individualistik. Kalau ada hubungan atau relasi sosialnya hanya terbatas pada relasi-relasi kecil, termasuk unit sosial terkecil yaitu anggota keluarga.
Oleh: Satriana Didiek
DAFTAR PUSTAKA Agus Sachari dan Yan Yan Sunarya, Sejarah dan Perkembangan Desain dan Dunia Kesenirupaan di Indonesia, Bandung, ITB, 2002 Agus Sachari, Estetika Makna, Simbol dan Daya, Bandung, ITB, 2002 Audifax, Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas, Bandung, Jalasutra, 2006 Burhan Bungin, Prof. Dr, Sosiologi Komunikasi, Jakarta, Kencana, 2006 Dominic Strinati, Popular Culture; Pengantar Menuju Budaya Populer, Yogyakarta, Bentang, 1995 Mike Featherstone, Posmodernisme dan Budaya Konsumen, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005 NN, ------------------www.wikipedia.com/kijang/

TV LOKAL PEMBENTUK IDENTITAS KULTURAL(Studi Kasus Terang Abadi Televisi Surakarta)

0 komentar
Sejarah pertelevisian di Indonesia, diawali dengan berdirinya Televisi Republik Indonesia (TVRI), secara resmi pada 24 Agustus 1962, meskipun sebenarnya sudah siaran sejak 17 Agustus. Dengan kekuatan hanya 100 watt, menara untuk antena setinggi 80 meter, dengan tenaga 80 orang yang berprofesi ganda--kadang reporter merangkap sutradara lapangan, merangkap sopir--liputan pesta olahraga ASEAN Games bisa disajikan urut. Kemudian, acarapun bergulir. Laporan pertandingan sepak bola Indonesia melawan Swedia, meletusnya gunung Agung di Bali (31 Maret dan 1 April 1963), serta membuka dompet bencana alam. Iklan pertama dalam bentuk slide (1 Maret 1963) dan banyak yang pertama lainnya. Sejak itu, era yang berlangsung adalah eranya pemerintah, ketika semua tata nilai dan tata krama sepenuhnya diatur oleh pemerintah Orde Baru. TVRI memonopoli siaran, memonopoli produksi, dan mendirikan Dewan Siaran Nasional dengan pejabat pemerintah yang itu-itu juga. TVRI menjadi the one and only yang sebenar-benarnya. Tak mungkin ada stasiun siar lain, tak ada program atau acara yang menyindir atau mempertanyakan kebijaksanaan pemerintah, bahkan lirik lagu pop bisa dilarang, grup musik dengan anggota yang dianggap pembangkang tak boleh tampil lagi, dan dialog dalam lawakan bisa terkena sensor. Tak ada semangat lain selain "pembangunan". Seiring berjalannya waktu, pemerintah melalui Departemen Penerangan mengeluarkan izin untuk siaran terbatas, dengan penonton harus menggunakan decoder serta membayar uang langganan. Pemerintah mulai memberi izin berdirinya RCTI pada akhir 1990. Segala tata krama pertelevisian, yang selama ini dicanangkan dengan kuat, dilanggar. Puncaknya adalah 23 Januari 1991, ketika TPI, yang menyandang beban pendidikan, bisa bersiaran terbuka secara nasional. Bahkan awalnya masih memakai perlengkapan, tenaga yang ada di TVRI. Tidak usah berlangganan bagi pemirsa dan membuka pintu lebar untuk pemasang iklan. Ketika tata nilai dan tata krama pertelevisian dikhianati, segala apa bisa terjadi. Penjungkirbalikkan apa yang diterima selama ini bahwa pemerintah sebagai satu-satunya badan yang berhak mengadakan siaran, bahwa iklan tidak menguntungkan bagi semangat pembangunan, tidak berlaku lagi. Kalaupun kemudian ANTV izinnya berbasis di Lampung dan SCTV di Surabaya bisa leluasa dan tetap dari Jakarta, itu merupakan konsekuensi dari pengkhianatan pertama yang tidak diprotes atau dipertanyakan. Demikian juga dengan siaran sistem berlangganan, baik melalui satelit maupun kabel, merupakan bagian dari ini. Seperti juga munculnya stasiun siar (berizin) lokal yang jumlahnya terus meningkat. Menurut data dari Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) sekarang ini TV lokal yang sudah menjadi anggotanya berjumlah 28, yaitu; Lombok TV, Makassar TV, JTV-Surabaya, Gorontalo TV (GOTV), TV Borobudur (Semarang), Riau TV, Srijunjungan TV (Bengkulu), Bali TV, Batam TV, Publik Khatulistiwa TV (Bontang), Jogja TV, Terang Abadi Televisi (Solo), Bandung TV, O’Channel (Jakarta), Jak TV (Jakarta), Cahaya TV (Banten), Space Toon TV Anak (Jakarta), Megaswara TV (Bogor), Cakra TV (Semarang), Cakra Buana Channel (Depok), Pal TV (Palembang), Kendari TV, Tarakan TV, MQTV-Manajemen Qolbu Televisi (Bandung), Ratih TV (Kebumen), Ambon TV, Sriwijaya TV (Palembang), dan Aceh TV. Dua puluh delapan televisi lokal anggota ATVLI ini pasti hanya sebagian dari jumlah televisi lokal yang ada di Indonesia, berarti di luar itu jumlah televisi lokal yang hadir setelah UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran masih banyak lagi. UU penyiaran 2002 dan TV Lokal Pengesahan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan tonggak penting bagi eksistensi televisi lokal, karena merupakan payung hukum resmi dan demokratis bagi penyiaran di tanah air. Televisi Lokal yang hadir dengan spirit otonomi daerah, sangat dirasakan dampak kehadirannya sebagai warna baru dunia penyiaran tanah air. Berbagai daerah selama ini disadari kurang optimal diangkat dalam wujud audio visual. Sehingga kehadiran televisi lokal, menjadi solusi penting untuk hal tersebut. Dibungkus dengan kemasan lokal yang kental, televisi lokal selalu berupaya mempersembahkan yang terbaik bagi masyarakat dengan kearifan lokal yang berbeda-beda. Paket tayangan yang bermaterikan sosial, budaya, pariwisata, ekonomi, dan unsur kedaerahan lainnya tentunya menjadi suatu kebutuhan bagi seluruh lapisan masyarakat tersebut, demi optimalisasi pembangunan setempat. Termasuk diantaranya harapan atas peluang pembukaan lapangan pekerjaan baru bagi daerah. Selain itu, cita-cita UU penyiaran 2002 adalah untuk meletakkan pondasi bagi sistem desentralisasi penyiaran. Jadi pemerintah daerah juga punya hak untuk dapat menikmati manfaat yang lebih baik dari ranah penyiaran, baik di wilayah isi siaran (diversity of content) maupun di wilayah bisnis ekonomi penyiaran (diversity of ownership). Semestinya, 28 Desember 2007 adalah batas akhir transisi dari sistem relai menjadi sistem berjaringan. Namun, mengingat hingga kini pemerintah belum juga mengeluarkan aturan mainnya, maka paling banter batas waktu akhir tersebut baru akan menjadi batas permulaaan. Pemerintah diharapkan tidak lagi menunda meski, dalam ketentuan peralihan UU Penyiaran 2002, masih dimungkinkan dengan alasan-alasan khusus. Pasalnya, penundaan berarti adalah interupsi terhadap cita-cita UU Penyiaran 2002 untuk meletakkan pondasi bagi sistem desentralisasi penyiaran. Cita-cita UU Penyiaran 2002 itu kelihatannya memang sangat luhur ingin membagi “kue” ekonomi ke daerah-daerah, tetapi yang menjadi pertanyaannya kemudian sejauh mana daerah (baik pemda maupun pengusaha) mampu bersaing dengan pemodal nasional? Dan format sajian TV Lokal seperti apa yang mampu dan bisa merebut pemirsa serta pemasang iklan lokal dan nasional? Mampukan muatan acara lokal sebagai identitas budaya lokal bersaing dengan acara TV nasional yang sudah mengglobal? Banyaknya pertanyaan di atas yang harus dicermati dan dijawab dengan sungguh-sungguh oleh praktisi Televisi Lokal, kalau mereka mau tetap bertahan dan ingin bersaing dengan TV nasional. Tetapi patut di sayangkan juga, ketika TV lokal banyak yang lahir dan muncul setelah pemerintah mengeluarkan UU Penyiaran 2002, sehingga kemunculan TV Lokal terkesan hanya untuk menjaring TV nasional agar mau menjadikan mereka partner di daerah. Sebagai contoh di kota Solo, ada 5 channel yang disediakan Pemda Surakarta, semuannya sudah habis dibeli oleh pengusaha televisi, tetapi kenyataannya yang beroperasi hanya Terang Abadi Televisi (TATV), di channel 50 UHF, selebihnya tidak tahu kemana?
Sedikit tentang TATV Terang Abadi Televisi (TATV) di channel 50 UHF, mempunyai pemancar (Italy Digital 10Kw-sistem terbaru) di Patuk Gunung Kidul dengan jangkauan Yogyakarta , Sleman , Bantul , Wonosari , Gunung Kidul , Kulon Progro , Magelang , Temanggung , Wonosobo , Purworejo , Kutoarjo , Kebumen ,Surakarta , Klaten , Boyolali , Wonogiri , Karanganyar , Sragen , Mantingan , Ngawi. Bahkan menurut rencana strategis mereka akan membangun stasiun pemancar di Gombel Semarang, agar dapat mengcover beberapa daerah di Pantura Jawa Tengah. TATV adalah salah satu televisi lokal yang serius dalam hal manajemen dan peralatan, Peralatan mereka sekualitas dengan stasiun televisi nasional, misalnya perlengkapan Editing Supermicro ( Dual Xeon Procesor ) Mcr dengan perlatan Digital Automation Kamera Studio Sony DSR-390 , DXC 50P , DSR-170 Serta mempunyai 3 studio, satu studio out door, satu VIP Room dan satu Ob Van (Off air event). PT. Televisi Terang Abadi hadir dengan visi memberi sumbangsih yang berarti guna kemajuan daerah dan masyarakat pemirsa dalam segala bidang kehidupan, melalui perubahan paradigma berpikir dan berperilaku. Untuk mewujudkan visi tersebut, PT. Televisi Terang Abadi menyiapkan langkah-langkah strategis berupa misi yaitu menjadi televisi yang memberi pencerahan pada paradigma berpikir dan berperilaku masyarakat pemirsa menuju pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Dengan Berslogan TATV MATEB (Masa kini dan tetap berbudaya ), Mereka berharap menjadi televisi yang memberikan hiburan – hiburan yang menarik serta mengangkat informasi dari daerah – daerah dan tidak ketinggalan pula budaya daerah.
Berita Daerah yang Berbahasa Daerah
Menarik untuk dibahas adalah muatan lokal yang dihadirkan oleh TATV dalam program beritanya. TATV mungkin juga televisi lokal lainnya dengan muatan berita daerahnya yang meruah pasti lebih mempunyai daya tarik dibanding TV nasional. Dengan pertimbangan beaya produksi yang tidak mahal dan serumit kalau bikin produksi program acara hiburan (misalnya sinetron, musik, dll), ternyata berita mampu menjadi mata acara unggulan tersendiri. Dan berita inilah yang akhirnya membuat TATV menjadi TV komunitas masyarakat Solo.
TATV mempunyai beberapa mata acara berita, yaitu Surakarta Hari Ini, Jogja Hari Ini, Jurnal Siang dan beberapa berita dalam bahasa Jawa, yaitu Kabar Awan, Kabar Wengi (bahasa Ngoko) dan Trang Sandyakala (bahasa Kromo Inggil/halus). Menarik untuk dibahas disini ternyata yang menjadi unggulan atau paling tinggi ratingnya justru bukan Surakarta Hari Ini tetapi Kabar Wengi. Pola berita menggunakan bahasa Jawa Ngoko ternyata masih menjadi satu hal banyak dinanti oleh masyarakat Solo-Jogja dan sekitarnya. Hal ini seperti pendapat Hallyday (1972) tentang fungsi interpersonal bahasa yang dikutip oleh Alex Sobur.
Dalam pandangan Halliday, salah satu fungsi bahasa adalah untuk memelihara hubungan antar sesama manusia, dengan menyediakan wahana ungkap terhadap status, sikap sosial dan individual, taksiran, penilaian dan sebagainya; dan ini memasukkan partisipasi ke dalam interaksi bahasa. (Alex Sobur, 2001) Apalagi kalau merujuk pendapat Mcluhan, “The Medium is the Messege” , medium itu sendiri merupaka pesan. Apa-apa yang dikatakan ditentukan secara mendalam oleh medianya. Pendapat ini juga diperkuat oleh Hall (1973) Karena wacana televisi menerjemahkan dunia tiga dimensi ke dalam pesawat dua dimensi, tentu saja ia tidak dapat mejadi referen atau konsep yang ia tandakan…Realitas mengada di luar bahasa, namun realitas terus menerus dimediasi oleh dan melalui bahasa. “pengetahuan” diskursif bukanlah produk dari representasi transparan dari yang “nyata” dalam bahasa, melainkan produk dari artikulasi bahasa terhadap pelbagai hubungan dan kondisi yang nyata. (Storey, 2007; 13)
Berkaitan dengan pilihan bahasa, lebih lengkap kalau kita juga tidak lupa membicarakan tentang premis bahwa manusia itu sebetulnya adalah “animal simbolicum” atau binatang yang mampu menggunakan serta mengembangkan simbol-simbol untuk berkomunikasi dan memberikan makna pada lingkungan dan prilakunya (Geertz, 1973). Manusia tidak mungkin lepas dari simbol sebagai "alat transaksi" dalam hubungan antar manusia dan bahasa merupakan simbol utama yang diproduksi dan dikonsumsi manusia. Bahasa merupakan muara dari imajinasi, pemikiran, bahkan konsep realitas dunia. Dari beberapa uraian teori di atas, jadi tidak heran ketika Trang Sandyakala yang juga menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil justru kurang diminati karena menurut beberapa responden yang diwawancara justru banyak yang bingung dan kurang menguasai bahasa halus tersebut. Banyak kosa kata yang sudah hilang pada perbendaharaan kata mereka, hal ini tidak terjadi pada bahasa Ngoko pada Kabar Wengi yang masih mereka gunakan setiap hari.
Disamping berita harian seperti di atas, TATV juga mempunyai beberapa berita khusus kriminal, yaitu Patroli Joglosemar (bekerjasama dengan Borobudur Televisi) dan Pos Ronda 9. Kedua pemberitaan ini formatnya hampir sama kalau kita melihat Sergap atau Patroli dari Televisi Nasional. Tetapi yang menjadi unggulan dari acara ini, berita yang ditampilkan adalah berita-berita daerah, peristiwa yang ada dan berlangsung disekitar pemirsanya, sehingga mereka lebih merasa memiliki dan merasakan dibanding dengan kalau kita melihat TV nasional yang jelajah beritanya lebih luas.
Kalau melihat beberapa tayangan berita di TATV sebetulnya kita tahu betapa TATV sudah begitu serius dalam manajemen pemberitaanya. Berita hadir murni sebagai sebuah informasi yang memang dianggap penting bagi pemirsanya. Berita tidak disusupi iklan terselubung (misalnya advitorial), maka dalam pemberitaan di TATV kita tidak akan menemukan berita yang bermuatan seremonial; peresmian sesuatu!
Inilah yang menjadi alasan kenapa acara berita di televisi lokal bisa menjadi satu program unggulan dan bisa menjadi pembentuk kesadaran publik bahwa begitu pentingnya media lokal sehingga akan mendorong mereka untuk memiliki TV lokal dan menjadikannya TV komunitas. Ada beberapa faktor kenapa TV lokal bisa lebih diminati daripada TV nasional; pertama memuat peristiwa daerah di sekitar pemirsanya, sehingga pemirsa lebih mempunyai keterikatan batin tehadap peristiwa yang diberitakan (misal pembunuhan di kalurahan Pajang di Solo pasti akan lebih menyita perhatian pemirsa dari pada pembunuhan yang terjadi di banda Aceh atau Jakarta).
Kedua, komposisi ruang pemberitaan; berita-berita lokal di dalam kebijakan redaksi berita Nasional pasti akan dibandingkan dengan berita-berita dari daerah lain atau dengan kata lain ruang untuk satu daerah tidak sebanyak kalau di pemberitaan TV Lokal. Dengan kesadaran ini, banyak narasumber yang didatangi oleh wartawan TATV lebih suka dibanding dengan TV nasional manapun, karena mereka beranggapan bahwa kalau TATV pasti akan diberitakan kalau TV nasional belum tentu keluar (dengan catatan bukan berita yang luar biasa; semisal bencana alam yang luar biasa atau tinjauan pejabat pusat).
Ketiga; kedekatan, kecepatan dan kemudahan koordinasi. Faktor ketiga ini sangat menentukan dalam konteks peristiwa yang sangat urgen atau penting sekali dan informasi itu harus secepatnya sampai ke masyarakat. TV lokal lebih diuntungkan. Sebagai contoh kasus musibah Banjir di Solo beberapa hari lalu, Pemkot Surakarta menggandeng TATV siaran langsung dari rumah dinas Walikota Surakarta berkaitan dengan langkah-langkah strategis Pemkot Surakarta dalam menanggulangi banjir baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kenapa Pemkot Surakarta lebih tertarik dengan TATV, karena dianggap lebih cepat sehingga memudahkan koordinasinya.
TATV dan Budaya Daerah
Disamping acara berita, TATV sesuai dengan misinya yaitu menjadi televisi yang memberikan hiburan – hiburan yang menarik serta mengangkat informasi dari daerah – daerah dan tidak ketinggalan pula budaya daerah, juga mempunyai beberapa mata acara unggulan berbasis budaya daerah, yaitu Campursari, Keroncong, Kembang Lambe, Ketoprak, wayang orang, Pecas Ndahe dan Toprak Pendhapan.
Ketoprak dan Wayang Orang pada awal-awal berdirinya TATV sangat dinanti oleh masyarakat Solo, dengan anggaran dana yang minim, TATV mampu menyuguhkan mata acara hiburan yang bersifat lokal dan mampu menarik perhatian para pemirsanya. Dengan dana yang minim, karena TATV hanya merekam dan menyiarkan ulang pementasan ketoprak Balekambang dan wayang orang Sriwedari. Tetapi sayang sekarang ini, kedua acara tersebut telah hilang, karena memang keduanya sedang fakum. Kedua tempat pentas mereka (taman Balekambang dan taman Sriwedari), sekarang ini sedang direvitalisasi oleh Pemkot Surakarta. Kemudian TATV tidak hanya berhenti di situ saja, dia mengembangkan program acara hiburan daerahnya dengan salah satu mata acaranya adalah Toprak Pendhapan. Toprak Pendhapan ini adalah kelompok ketoprak yang didirikan oleh Teater Gidag Gidig Surakarta. Format ketopraknya sendiri lebih mirip ketoprak pada wal-awal berdirinya yaitu ketoprak lesung. Dengan beberapa bintang tamu pemain ketoprak asli dari Ketoprak Bale Kambang ditambah dengan Joleno (Siswa Budaya), Toprak Pendhapan dengan banyolan-banyolannya yang segar mampu menarik perhatian pemirsa. Kenapa itu bisa terjadi, kenapa wayang dan ketoprak masih menarik perhatian pemirsa? Masalah ini berkaitan dengan karakter budaya massa dan produk-produknya yang berkembang di dalam masyarakat kita sekarang ini, lewat sosiologi komunikasi dalam konteks hubungan komunikasi massa dengan budaya massa.Budaya massa sangat berhubungan dengan budaya popular sebagai sumber budaya massa. Bahkan secara tegas dikatakan bahwa, bukan populer kalau bukan budaya massa, artinya budaya tradisional juga dapat menjadi populer apabila menjadi budaya massa. Contohnya adalah Srimulat, Ludruk, Ketoprak maupun Campursari. Pada mulanya kesenian tradisional ini berkembang di masyarakat tradisional dengan karakter-karakter tradisional, namun ketika kesenian ini dikemas di media massa, maka sentuhan-sentuhan populer mendominasi seluruh kesenian tradisional itu, baik cerita, kostum, latar, dan sebagainya tidak lagi menjadi konsumsi masyarakat pedesaan namun secara massal menjadi konsumsi semua lapisan masyarakat di pedesaan dan perkotaan. (Burhan Bungin, 2006;77-78)
Dari fenomena di atas kita jadi sadar bahwa secara tidak langsung fungsi sosial wayang bagi masyarakat Jawa telah bergeser dan berubah khususnya bagi masyarakat urban perkotaan yang mengkonsumsi budaya massa. Wayang yang dahulunya sebagai tontonan dan tuntunan, sekarang mereka melihat wayang hanya sebatas pada menikmati sebuah hiburan. Hal ini sangat berbeda dengan masyarakat agraris Jawa yang tiggal di pedesaan, fungsi sosial wayang sebagai media pendidikan, ritual, hiburan dan informasi masih sering diadakan, misalnya untuk ritual ruwatan, bersih desa, ruwahan dan lain-lain. Disamping fungsi di atas sebetulnya pada hakekatnya merupakan suatu bentuk kesetia-kawanan sosial masyarakat.
Tidak hanya seni tradisi yang lahir dari Surakarta saja, tetapi kesenian yang bertumbuh dan besar di Surakarta sehingga sudah dianggap seni lokalpun juga diangkat oleh TATV, misalnya musik Kroncong bekerjasama dengan HAMKRI (Himpunan Musisi Keruncong Republik Indonesia) Surakarta pimpinan Hj. Waldjinah dan musik Campursari bekerjasama dengan Cak Diqin. Dua mata acara ini sangat menarik, karena kedua jenis aliran musik ini memang berurutan, musik campursari adalah pengembangan dari musik keroncong. Sangat menarik karena audiensnyapun juga berbeda, mereka punya segmen pemirsa yang berbeda; musik keroncong banyak diminati kaum tua yang konservatif sedangkan campursari anak muda urban perkotaan dari kelas menengah bawah.
Tidak itu saja, TATV juga memberi ruang bagi seniman lokal yang punya personal style sehingga punya pembeda dari karya-karya seniman lainnya, salah satunya adalah kelompok musik humor “Pecas Ndahe”. “Pecas Ndahe” adalah kelompok musik humor asli kota Solo generasi kedua di jurusan Seni Rupa UNS, setelah Suku Apakah (yang kemudian bergani nama menjadi Teamlo). Seiring berjalannya waktu, karena Teamlo lebih fokus melanjutkan karier mereka ke Jakarta (akhirnya diambil oleh TPI), maka Pecas Ndahe mampu menguasai Solo dan sekitarnya. Pecas Ndahe mampu menjadi ikon musik humor aseli Solo, pertimbangan ini pulalah yang akhirnya TATV mau bekerjasama dan menayangkan Pecas Ndahe di salah satu program acara.
TATV dan Pembentukan Identitas Kultural
Menonton televisi membentuk dan terbentuk oleh bentuk-bentuk identitas cultural. Televisi menjadi sumber bagi pembentukan identitas kultural, dan pemirsa juga menggunakan identitas dan kompetensi kultural mereka untuk mendekode program-program dengan cara khas masing-masing. Seiring mengglobalnya televisi, perannya dalam pembentukan identitas etnis dan nasional menjadi semakin penting (Barker, 1999). Studi skala besar yang paling terkenal tentang identitas kultural nasional/etnis adalah kajian Liebes dan Katz (1991) terhadap resepsi Dallas pada pemirsa dari beberapa latar belakang etnis dan budaya.
Penelitian Liebes dan Katz tentang Dallas menunjukkan beberapa hubungan penting antara televisi dan identitas nasional/ kultural. Yang paling penting, kita bisa berkesimpulan bahwa pemirsa menggunakan identitas nasional dan etnis mereka sendiri sebagai posisi untuk membaca/ mendekode program-program. Televisi Amerika tidak begitu saja dikonsumsi oleh pemirsanya, yang bisa dengan gampang merusak identitas-identitas kultural yang indigenous . Justru penggunaan identifikasi kultural dalam ekspresi mereka, menjadi titik resistensi yang mendorong pembentukan identitas kultural. Kalau ada beberapa nada miring tentang keberadaan TATV di Solo berkaitan dengan materi presenter dan program acara yang memang formatnya hapir sama dengan program televisi nasional, hal itu memang tidak bias dipungkiri. Ada beberapa alasan yang mungkin bisa menjadi pembelaan tentang hal itu; pertama TATV dengan muatan lokalnya (termasuk Sumber daya manusia yang ada di dalamnya), tentu dalam rekruitmen juga masih mengandalkan potensi lokal yang secara kualitas di bawah presenter nasional. Di satu sisi, para pemirsa televisi di kota Solo sudah terbiasa dengan karakter dan gaya presenter nasional sehingga jadi aneh ketika meilihat presenter TATV beraksi di depan kamera. Kedua berkaitan dengan format acara yang hampir sama dengan TV nasional, sebetulnya itu bukan satu hal yang aneh, karena bukankah kalau kita mau mencermati semua TV nasioanal juga mempunyai masalah yang sama yaitu keseragaman dalam hal program acara? Kenapa itu tidak dipermasalahkan, justru keberadaan TV lokal yang dipersoalkan? Padahal substansi dari isian materi acaranya sudah mengandung muatan lokal yang luar biasa meruahnya. Berkaitan dengan format acara yang sama, sangat berkaitan dengan sisi kreativitas dan sifat plagiator, yang sudah sejak lama dicerca oleh Yasraf Amir Piliang dalam pengantar tulisan pada buku “Kreativitas dan Humanitas” karya, Primadi Tabrani (2006) Kenapa Mentalitas plagiator yang lebih sering kita jumpai ketimbang mentalitas kreator?Dengan mudah kita dapat menemukan reality show uji keberanian yang menjiplak acara serupa di amerika. Sinetron remaja yang menjiplak sireal buatan Taiwan. Komedi situasi yang menjiplak serial buatan persahabatan di amerika…Bisa dipastikan lebih banyak lagi pengalaman menonton acara televisi yang menjiplak acara di luar egeri. Itulah sekelumit representasi kreativitas di kalangan professional yang mengaku pekerja seni. Kreativitasnya nyaris nol besar, lebih terlatih menjadi plagiator ketimbang kreator. (Yasraf, 2006) Jadi menurut saya, kalau ada yang mempersoalkan TV lokal itu kebanyakan meniru format TV nasional itu satu hal yang biasa terjadi, dan yang pasti format TV nasional itu juga bukan satu produk yang murni dikreasi oleh pekerja seni TV nasional. Justru TV lokal masih lebih menarik, karena mereka punya daya resistensi yang membentuk deferensiasi atau pembeda pada tataran muatan nilai lokalnya yang itu tidak ditangkap oleh TV nasional. TV Lokal lebih berfungsi untuk media informasi kejadian atau peristiwa, kebijakan Pemda atau Pemkot yang berkaitan dengan publik, seni budaya, ekonomi dan bisnis, serta seluruh potensi lokal yang ada. Dengan realitas di atas, maka posisi TATV di kota Solo dengan beberapa program acaranya yang banyak memuat nilai-nilai lokal dengan sendirinya menjadi penguat identitas lokal/ etnis Jawa. Hal ini terlihat dari beberapa mata acara berita yang diprogram oleh TATV justru “Kabar Wengi”, yang menggunakan bahasa Jawa Ngoko lebih diminati dari pada Surakarta Hari Ini yang berbahasa Indonesia. Atau bahkan dengan Trang Sandyakala yang menggunakan bahasa halus (Krama Inggil) Jawa. Demikian juga pada program-program hiburannya, seperti Ketoprak, Wayang Orang, Musik Keroncong dan Campursari juga menjadi andalan TATV. Bahkan dari beberapa dialog interaktif yang dibuat oleh TATV, Forum Solusi, Saran Dokter Anda, Bincang Wanita, paling tinggi ratingnya adalah Jagongan Sar Gedhe (Dialog interaktif Bahasa Jawa, tema politik sosial). Mungkin inilah salah satu kelebihan televisi lokal, ketika dia lahir di wilayah yang mempunyai potensi lokal sangat meruah dalam hal nilai berita dan budaya seperti Surakarta, pasti dengan mudah akan menemukan beberapa program pembeda dari televisi nasional yang dengan sendirinya secara tidak langsung menjadi satu bentuk resistensi terhadap budaya global yang digulirkan oleh televisi nasional dan transnasional. Atau kalau kita mau sedikit kritis dan apriori, bisa jadi justru apa yang dilakukan oleh TATV itu bukan bentuk resistensi tetapi justru pemodal TATV yang sadar akan konsep deferensiasi atau pembeda. Dengan kata lain, dengan memuat nilai-nilai lokal dalam programnya, bisa jadi nilai lokal ini telah menjadi satu komoditi ekonomi yang menguntungkan. Hal ini seperti pendapat John Fiske (1987) yang mengatakan bahwa komunitas budaya - termasuk televisi – yang dari situ budaya massa tersebar dalam dua ekonomi sekaligus ; ekonomi finansial dan ekonomi kultural. Ekonomi finansial terutama menaruh perhatian pada nilai tukar , sedangkan nilai ekonomi kultural terutama berfokus pada nilai guna-makna, kesenangan dan identitas kultural. Dua ekonomi beroperasi demi kepentingan pihak petarung yang saling berlawanan; ekonomi finansial cenderung mendukung kekuatan kerjasama dan homogenitas , sementara ekonomi kultural cenderung kekuatan perlawanan dan perbedaan. Perlawanan semiotik – yang di situ makna - makna dominan ditentang oleh makna –makna subordinat – punya efek terhadap peruntuhan upaya kapitalisme atas homogenitas ideologi. Dengan cara ini, menurut Fiske, kepemimpinan moral dan intelektual kelas dominan ditentang. (Storey, 2007) Mungkin dari uraian di atas, menjadi satu realitas yang patut diperhatikan berkaitan dengan muatan nilai lokal di televisi lokal, apakah muatan itu betul-betul kesadaran televisi lokal terhadap pembentukan idenitas etnis (lokal), atau seperti pendapat Fiske bahwa dua ekonomi seperti di atas yang membentuk program acara lokal. Ekonomi Finansial jelas untuk menopang keberlangsungan stasiun televisi yang setiap harinya memerlukan beaya yang cukup besar perlu ditopang oleh pemasukan yang luar biasa banyaknya, dan jalan yang paling riil untuk mendapatkan itu adalah lewat iklan yang masuk. Sedangkan ekonomi kultural yang cenderung dipandang sebagai kekuatan perlawanan dan perbedaan, apakah murni sudah dilakukan? Karena kalau mengingat berita yang ditayangkan oleh TATV sebetulnya muatan semiotika serta ideologinya juga tidak berbeda dengan televisi nasional. Dia hanya menjadi satu media untuk melegitimasi suatu kekuasaan, hanya bedanya TATV kebetulan ada yang berformat bahasa Jawa, jadi yang membedakan hanya pada penggunaan bahasa, tidak lebih! Meskipun ini tidak bisa dipungkiri menjadi faktor yang cukup signifikan terhadap jumlah pemirsa terkait dengan kedekatan emosional kulturalnya. Sedangkan produksi hiburannya, TATV memang berkesan lebih berfokus pada nilai guna-makna, kesenangan dan identitas kultural. Dari tanyangan hiburan yang diprogramkan bermuatan lokal seperti Wayang Orang, Ketoprak, Campursari, Musik Keroncong, dan Pecas Ndahe, TATV berkesan membentuk satu perlawanan identitas terhadap homogenitas budaya yang ditampilkan oleh TV Swasta nasional. Perlawanan, karena kota Solo yang dikenal dengan kota Budaya dan menjadi pusat kebudayaan Jawa di Indonesia mempunyai banyak seni dan budaya yang bernilai tinggi. Masyarakat Solo-Jogja yang sudah dikultivasi dengan kesadaran bahwa Solo-Jogja sebagai pusat kebudayaan dan munculnya kesenian yang adiluhung, tetapi dalam realitasnya, justru mereka sulit menemukan kesenian tersebut, baik di dalam realitas kehidupan mereka sehari-hari maupun dalam acara televisi. TATV memahami itu, maka dia membuat program acara yang banyak diminati mayoritas masyarakat Jawa tetapi tidak disentuh oleh TV nasonal, seperti; ketoprak, wayang orang, keroncong dan campursari. Tetapi benarkah itu riil dari kebijakan mereka, atau itu ada karena hanya sebuah keterbatasan finansial saja? Sudah disinggung di atas, bahwa TATV sebagai TV lokal yang kondisi kapitalnya sama dengan kebanyakan TV lokal lainnya, yaitu minimnya dana awal atau kurang tersedianya dana untuk membuat satu produksi hiburan? Kalau TATV punya dana yang melimpah apakah ada jaminan bahwa mereka tidak akan membuat program acara hiburan seperti TV nasional, sinetron (opera sabun) misalnya? Pernah sekali TATV menayangkan acara gosip selebritis yang diberi tajuk “Kembang Lambe”, dengan konsep hampir seperti berita gosip seperti TV nasional, Kembang Lambe menayangkan kehidupan seputar artis-artis lokal. Dalam realitas, seharusnya program acara ini bisa berkembang dan diterima oleh pemirsa Solo, karena tidak bisa dipungkiri banyak artis dan celebritis yang tinggal dan besar di Solo, seperti Jujuk, Nunung, Gogon, Mamik, Basuki (Srimulat), Waldjinah, Anjarany (Keroncong), Cak Diqin dan Didi Kempot (Campursari), Tia Afi, TeamLo, Padat Karya, Nyiur Melambai, dan sebagainya. Tetapi anehnya program ini tidak bisa berkembang dengan lancar, akhirnya setelah sepuluh episode (episode minimal siap tayang), program acara ini selesai. Mungkin ada kesadaran yang berbeda bagi pemirsa televisi, ketika mereka melihat berita selebritis di program gosip TV nasional mereka hanya melihat itu hanya sebagai sebuah hiburan atau informasi sekunder yang remeh temeh saja. Tetapi ketika melihat “Kembang Lambe”, siapa yang digosipkan, mereka sudah mengenal dengan baik, tidak hanya secara virtual tetapi juga verbal (fisik), sehingga ketika mereka harus membicarakan kejelekan artis tadi jadi kasihan, karena kenal secara personal. Atau dugaan yang kedua, justru masyarakat Solo sendiri ketika mereka kenal secara personal dan tahu kehidupan kesehariannya, membuat kesadaran mereka sulit terbangun kalau yang ada dalam “Kembang Lambe” ini sebetulnya adalah artis yang sudah nasional bahkan internasional. Mereka menganggap Jujuk, Nunung, Waldjinah, dan Didi Kempot sebagai orang biasa, tetangga mereka yang tidak etis untuk digunjingkan secara luas di media. Sejarah pertelevisian agaknya mulai bergerak untuk mulai melirik kembali TV Lokal, ketika sebagian masyarakat sadar bahwa televisi Nasional makin menjauh dari harapan untuk memberikan dukungan penuh proses berbangsa dan berbudaya. Setidaknya dengan TV Lokal yang sadar diri, pilihan lain dimungkinkan. Begitulah pertelevisian yang sehat, memungkinkan keberagaman dan menolak keseragaman. Sejarah telah membuktikan bagaimana sekurang-kurangnya tiga tahun awal ini, membuahkan hasil yang demokratis, yang menyertakan peran masyarakat. Hubungan antara TATV dan pemerintah serta masyarakat berlangsung dengan harmonis. Sekarang, agaknya tinggal membenahi dan menyadari bahwa selain pemerintah dan masyarakat, ada unsur lain, yaitu pasar. Rumusan dinamis ini yang akan membuat TATV memikat, menarik sekaligus mendidik, informatif sekaligus juga bisa informal. Masyarakat pula yang akhirnya harus dimenangkan, bukan hanya sebagai pemirsa, melainkan juga ketika bersuara. Hal ini terbukti dari penciptaan citra TATV yang terus dikembangkan untuk menangkap hati pemirsanya. TATV yang tumbuh dan dilahirkan dengan dana gereja (bahkan isu yang berkembang dapat dana dari gereja dari Jerman), pada awal siarannya sangat steril dengan agama lain. Para pegawai yang bekerja di dalam-nyapun juga kebanyakan dari umat gereja tertentu. Tetapi seiring berjalannya waktu, ketika TATV merasa perlu untuk mengembangkan diri dan perlu pengakuan dari masyarakat yang lebih luas, baik secara finansial maupun emosional, akhirnya, mereka mau membuka diri dengan agama lain. Baru satu tahun ini misalnya di TATV ada adzan Maghrib itupun karena ada telepon dari salah seorang anggota dewan yang meminta ada adzan maghrib dengan pertimbangan TATV sekarang sudah bukan milik golongan salah satu agama saja tetapi sudah menjadi TV masyarakat Solo. Sekarangpun dalam rekruitmen pegawai juga tidak memilih berdasarkan agama tetapi berdasarkan kualitas individu pelamarnya. Pada awalnya, TATV hanya menerima pegawai yang beragama Kristen tetapi sekarang sudah berubah, khususnya di wilayah redaksi pemberitaan, banyak wartawannya yang beragama non Kristen. Itu mungkin contoh nyata yang cukup membuahkan hasil yang demokratis, karena menyertakan peran masyarakat. Sisi positifnya kemudian akhirnya, banyak klien usaha yang mau memasang iklan produk atau kegiatannya di TATV, yang tentu saja ini akan sangat membantu finansial perusahaan.
Oleh: Satriana Didiek
SUMBER BACAAN Alex Sobur, 2001, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Burhan Bungin, 2006, Sosiologi Komunikasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Barker, Chris, , 2005 Cultural Studies; Teori dan Praktik, PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta. Geertz, Clifford. 1973, The interpretation of Cultures, New York, Basic Books Storey, Jhon, 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Penerbit Jalasutra, Bandung Primadi Tabrani, , 2006, Kreativitas dan Humanitas, Penerbit Jalasutra, Bandung. SUMBER BACAAN SEKUNDER www.atvli.com http://www.tatv.co.id/ http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.suaramerdeka.com/harian/0409/06/sm1sinejkt6a.jpg&imgrefurl=http://www.suaramerdeka.com/harian/0409/06/x_nas.html&h=63&w=100&sz=4&hl=id&start=4&um=1&tbnid=fiOnDGzLS53_eM:&tbnh=52&tbnw=82&prev=/images%3Fq%3Dte Anonim, Desember Mencekam, dalam http://www.kpi.go.id/index.php? etats = detail&nid=63, 2007

Followers

 

kebovisual. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com