Friday, 5 September 2008

KAJIAN METAMORFOSIS PERFORMANCE ART


Dalam tiga dasawarsa terakhir ini masyarakat dunia termasuk di dalamnya Indonesia, hidup dalam ketergantungannya dengan TV, video, games, komputer dan piranti lunaknya, ponsel hingga internet. Budaya media telah dikonsumsi sebagai hiburan sekaligus fungsional, namun relatif terbatas dipergunakan lebih dari itu, misalnya aktivisme komunitas dan ekspresi individu. Masyarakat telah memasuki wilayah budaya baru dengan rujukan perilaku, kesadaran, bahasa, realitas (cara manusia melihat dunia dan dirinya), norma dan hukum yang belum pernah dikenali sebelumnya. Dalam konteks seni, penggunaannya sering difahami sebagai tawaran kemungkinan baru dalam menciptakan atau mengalami kesenian. Dalam praktiknya, persinggungan seni dan teknologi ini ternyata membangun kegagapan-kegagapan sebagian besar praktisi seni rupa kita. Realitas yang tampak jelas, adanya kegagapan para praktisi seni rupa kita dalam menangkap perkembangan seni rupa dunia yang begitu cepat (berkaitan dengan karya-karya yang bersinggungan dengan teknologi). Persoalan ini diperparah lagi dengan adanya berbagai pendapat masyarakat seni rupa kita yang mempertentangkan praksis seni dan teknologi secara bipolar. Sudah tentu, diskursus tersebut tidak mungkin muncul tanpa sejarah. Seperti yang dikutip oleh Fakhrizal (2005) dari Agung Hujatika Jennong pada diskusi yang berlangsung dalam rangka pameran “Video Sculpture di Jerman Sejak 1963” di ITB, salah satu sebabnya, boleh jadi karena pemahaman umum tentang teknologi sebagai perpanjangan tangan dari sains modern yang dianggap selalu berurusan dengan kepastian rasional dan serba keterukuran dalam logika positivisme. Sedangkan seni atau lebih khusus lagi seni rupa modern, umumnya dilihat sebagai praksis filosofis yang justru identik dengan berbagai ketidakpastian, penafsiran personal dan subyektifitas. Pertentangan bipolar itu juga terkait dengan pandangan khalayak yang di satu sisi memahami teknologi sebagai perwujudan nyata dari cita-cita kemajuan peradaban modern secara konkrit, berdampak pada kehidupan manusia. Sementara di sisi lain, melihat seni sebagai aktualisasi pengalaman batin, intuisi, dunia pra-reflektif manusia dan khasanah rasawi yang tak terjamah. (Agung Hujatika Jennong, 2005) Pemisahan ini tidak terlepas dari ambisi manusia untuk mengejar modernitas, menciptakan spesialisasi dalam bidang-bidang kehidupan manusia demi terwujudnya praktik dan disiplin keilmuan yang otonom. Sejarah sendiri mencatat bagaimana pada paruh pertama abad 20, seni dan teknologi telah menghasilkan puncak-puncak penemuan dalam kebudayaan modern, dimana eksperimentasi dan riset menjadi tulang punggung dalam pencapaian kesejahteraan manusia. Namun berbagai penemuan tersebut semakin memisahkan seni dan teknologi di masa itu hingga menjangkau dalam tataran konsep. Keterkaitan antara keduanya hanya samar-samar terlihat dalam hal keinginan untuk terus menemukan sesuatu yang baru. Tetapi dalam dekade 60-an, terjadi perubahan mendasar dalam konsep tersebut. Kehadiran genre video art mempertemukan dua perangkat tersebut yang bagai dua sisi mata uang logam. Tidak bisa dipungkiri kehadiran kamera, film, dan video telah menciptakan sintesa antara dunia imaji dalam seni dengan perangkat teknologi reproduksi mekanik. Kelahiran fotografi dan sinema telah membawa perubahan besar dalam kebudayaan manusia. Sebuah pendobrakan terhadap tataran konsep pemisahan seni dan teknologi. Salah satu fenomena yang menjadi kritik terhadap seni dan teknologi adalah televisi. Televisi yang hadir dalam dekade 60-an, menjadi sebuah jarkon teknologi informasi yang sangat agresif. Kebutuhan akan televisi telah memicu lahirnya sistem komunikasi yang baru. Sistem komunikasi ini yang mampu mendorong perubahan sosial, politik, ekonomi secara besar-besaran dalam kehidupan manusia. Sejak pertama kali televisi ditemukan telah menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan hiburan, informasi, pendapat bahkan ideologi yang terselubung. Sebetulnya kalau mau dicermati, penemuan-penemuan teknologi telah menyumbangkan sistem bahasa yang baru bagi seni, membuat perkembangan seni tidak mandeg dengan kanon-kanon yang klasik seperti seni lukis dan seni patung saja. Perkembangan arus informasi dan makin gemerlapnya dunia dengan teknologi, seharusnya dilengkapi dengan keterlibatan seni dalam perkenalan dengan manusia. Seni sebagai sebuah imaji batin yang mampu dirasa bersanding dengan penerapan teknologi yang agresif. Dengan tujuan yang sama untuk memajukan budaya manusia sekaligus mensejahterakannya. Memang tak bisa dipungkiri bahwa kecenderungan perkembangan karya seni kontemporer belakangan ini, sangat bersinggungan sekali dengan perkembangan teknologi yang ada, khususnya teknologi informasi dan media rekam. Hal ini terbukti dengan munculnya beberapa genre-genre baru dalam seni rupa kontemporer Indonesia dan dunia yang akhirnya menjadi mainstream sendiri yaitu Seni Media (Media Art) dan Seni Media Baru (New Media Art), seperti : film eksperimental, expanded cinema (termasuk di dalamnya instalasi film, multiprojektion, film performances), video tape, instalasi video, closed circuit installation, video performances, seni komputer. Komputer grafis, animasi komputer, CD-Rom, seni rupa internet dan web, virtual reality, sound art, instalasi multimedia dan - performance interaktif atau yang bukan, radio-net dan tv-net, live broadcast, sampai VJ-Rave. (Peter Zorn, 2005) Tidak seperti genre lainnya yang lahir sejak tahun 1960-an (sebut saja expanded cinema atau video art) dimana perkembangan teknologi informasi begitu berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat sekitarnya, sehingga kelahiran genre seni ini sebagai counter culture terhadap ideologi media massa. Video performance lahir dari sejarah perkembangan performance art itu sendiri yaitu sekitar tahun 1909 lewat manifesto kelompok Futurist di Paris yang beranggota penyair, pelukis, dan pemain teater. Saat itu, kelompok ini mendeklarasikan manifesto mereka, yakni perfomance art sebagai bentuk perlawanan terhadap kemapanan seni yang hanya dapat dikonsumsi oleh segelintir orang kaya dan penguasa. Mereka mencoba meretas batas-batas wilayah konvensi-konvensi bentuk kesenian yang telah ada, seperti seni lukis, seni patung, seni cetak, seni musik, dan seni teater, dengan cara mencampurkan semua bentuk kesenian tersebut pada seni pertunjukan. Dengan menggunakan tubuh sebagai medium, akhirnya performance art ini seperti melakukan dematerialisasi dalam seni.
Performance Art di Indonesia Di Eropa dan Amerika, perkembangan performance art dalam sejarahnya dikaitkan dengan rasa frustasi umum yang terakumulasi oleh Perang Dunia. Ternyata proyek besar mencerahkan umat manusia bernama modernisme itu, membawa manusia pada tindak destruktif. Seni, yang pada tataran paling mendasar selalu berujung pada suatu “keindahan” dan “menyenangkan” , dianggap tidak lagi relevan. Performance Art lahir ketika media-media seni konvensional seperti lukis, patung, teater, musik, maupun tari sudah dianggap tidak bisa lagi menampung ide-ide para seniman. Gejala Performance Art sebetulnya banyak dipengaruhi oleh Dadaisme dan futurisme. Gelombang seni Dada pada jamannya memang banyak menentang kondisi serta nilai sosial ekonomi masyarakat pada saat Dunia seni rupa dianggap stagnan dan hanya berhenti pada materi karena sudah masuk sistem kapitalistik. Banyak pelukis modern pada saat itu lebih berpihak pada kaum bourjois kapitalis, membuat seni menjadi begitu elit hanya ada dan dapat dinikmati di galeri-galeri seni saja. Di Indonesia, muasal perkembangan performance art terbetik pada tahun 1970an lewat Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB), ketika istilah performance art mulai mapan di wilayah barat. Di Indonesia, saat itu istilahnya belum ada namun kecenderungannya sudah dimulai. Ada kondisi yang kurang-lebih sama, yaitu rasa frustasi umum. Tahun 1970an, sebagian kalangan terdidik Indonesia mulai menyadari bahwa fondasi pembangunan rejim Soeharto ternyata rapuh. Dinamika pembangunan terlalu sentralistik. Pola pergerakannya picik. Ketertataan ternyata mengandung pendogmaan. Dalam dunia seni mulai muncul konflik antar generasi. Generasi tua hendak mempertahankan ketertataan yang diyakini benar, sementara generasi muda menghendaki pembaharuan. Pembaharuan selalu bermula dari eksperimen, suatu semangat bermain, mengurai diri dari ikatan, meluaskan penglihatan. Indonesia tahun 1990-an, makin jelas, performance art sangat bersesuaian dengan aktivisme mahasiswa. Mahasiswa, sejalan dengan kaum terdidik lainnya mulai mengupayakan protes atas laju pembangunan yang timpang. Dalam soal seni, kembali, sumber perkaranya berupa ketertataan yang dipaksakan. Sebagian mahasiswa seni lebih menyukai berekspresi di luar ruang kelas. Di luar keharusan-keharusan yang digariskan institusi. Sementara di dalam kelas berkesenian harus disesuaikan dengan kebijakan resmi, di luar kelas, “panggung” yang tersedia merupakan ruang terbuka dan aksi demonstrasi di ruang-ruang publik. Faktor lain adalah kecenderungan mempertemukan berbagai disiplin dalam seni. Para seniman dan penyelenggara kegiatan seni menghasilkan karya dan kegiatan seni yang mempertemukan seni rupa, teater, tari, musik, juga sastra. Pertemuan antar seniman ini cenderung berisi perbincangan kritis tentang realitas, tentang ketidak-adilan, dan tentang seni itu sendiri. Dalam performance art, sesungguhnya kekritisan tidak saja terarah pada realitas, tetapi juga kritis pada seni. Pada awal tahun 2000, performance art di Indonesia mulai diakui keberadaannya dengan diadakannya festival performance art untuk yang pertama kalinya, yaitu Internasional Performance Art Festival (JIPAF) di Teater Utan Kayu Jakarta. Pertengahan tahun 2001 kemudian dilanjutkan dengan Indonesia-Japan Performance Art Exchange , Tour Bandung-Jogja-Jakarta. Tahun 2002 di Bandung berlangsung pula Bandung Performance Art Festival (BAPAF) dan yang terakhir 25-30 Mei 2004 di Bandung berlangsung Konferensi Internasional Association Performance Art Organisers (IAPO). Acara yang diikuti para performers dan sekaligus organiser ini telah menghasilkan beberapa keputusan, salah satunya adalah Bandung (Indonesia) menjadi resident bagi IAPO Asia. Disamping beberapa event performance art besar tersebut telah banyak juga terselenggara program rutin yang diselenggarakan beberapa komunitas performance art di Jogja (Web Action #4) dan Bandung (Jamoe Tjap IKIP). Dalam realitas dunia seni rupa Indonesia, kalau mau mencermati, sebetulnya ada tiga kelompok besar perhatian para pemerhati esthetika dalam mengamati peran dan kedudukan seni dalam pergulatannya dengan bidang-bidang lainnya. Pertama untuk keluhuran budi pekerti (moralitas), kedua untuk mengungkapkan citra peradaban, dan ketiga sebagai pengungkapan makna dan tanda. Karya seni tidak hanya mengungkapkan unsur-unsur yang bertujuan untuk mencapai keindahan yang hanya berada dalam wilayah kesenangan duniawi. Seni juga mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang paling penting, melewati batas-batas etnis dan kebudayaan. Seni harus merupakan ekspresi dari jiwa atas realitas kehidupan yang diamati dan digeluti. Seni bisa menjadi media kritik dalam bentuk lain. Perkembangan pemikiran yang melihat dunia dengan perspektif lain dengan segala metodologinya memberikan kontribusi besar pemahaman atas seni dan ekspresi seni dengan segala manifestasinya. (Syafruddin, 2006; 7) Pendapat di atas juga dikuatkan oleh pendapat Plekhanov (1857-1918) seorang revolusioner sekaligus pendiri Marxisme di Rusia bahwa fungsi seni adalah membantu perkembangan kesadaran manusia, membantu memajukan sistem sosial, maka seni adalah suatu gejala sosial. Karena seni dimulai ketika seorang membangkitkan kembali dalam dirinya sendiri emosi-emosi dan pikiran-pikiran yang telah dialaminya di bawah realitas sekeliling dan menyatakannya dengan bayangan-bayangan tertentu. Sudah dengan sendirinya, bahwa dalam bagian terbesar kejadian, ia melakukan itu dengan sasaran menyampaikan yang telah dipikirkannya kembali dan dirasakannya kembali pada orang-orang lain. Performance art merupakan genre seni yang menempatkan dirinya pada irisan. Ia punya latar dari berbagai disiplin seni, sambil selalu menghindar dari konvensi-konvensi atau kategori-kategori yang sudah mapan. Mereka tidak hanya menerima mentah-mentah warisan nilai dan makna yang telah dibangun oleh para aparatus-aparatus dunia seni rupa sebelumnya, tetapi memproduksi makna baru dengan mendekonstruksi realitas sosial dan kemapanan seni rupa itu sendiri. Dengan begitu performance art berada dalam barisan seni-seni avant-garde (garda depan). Ada istilah lain menyangkut pembaharuan dalam seni: kontemporer. Dalam dunia seni, istilah kontemporer tidak sekedar merujuk pada makna literer, yaitu kekinian. Kontemporer lebih merujuk pada prinsip-prinsip mengkritik, memperluas, bahkan menihilkan prinsip-prinsip yang sudah ada sebelumnya. Performance art juga bersesuaian dengan pengertian ini. Membicarakan performance art adalah membicarakan semangat pembaharuan dalam seni. Satu semangat yang bisa membuat pemirsa tertantang berpetualang. Sebuah petualangan menonton. Pemirsa seperti halnya setiap seniman: selalu melakukan petualangan setiap kali berkarya. "Performance art adalah sebuah penampilan langsung yang mengkombinasikan elemen-elemen dari berbagai cabang seni. Performance art adalah suatu kategori yang punya cakupan cukup luas, berkisar tentang variasi aktivitas, gaya, dan niat. Sebagai perbandingan, dari formal sampai yang memuat hal-hal politis, cara menikmati eksekusi karyanya sangat tergantung pada tindakan yang ditentukan oleh suatu tempat dan penonton. Ini sebuah bentuk seni yang tumpang tindih dan melampaui bentuk-bentuk karya yang menggunakan aksi atau tindakan seperti; happening art, action painting, process art, street art, body art, dan sebagainya. .sebuah performance art ditentukan oleh beberapa cara yang tidak sama dengan teater atau seni tari. (Walker, 1977) Seorang performance artist biasa menggunakan sastra, seni rupa, budaya populer, musik, tari, dan teater, juga video, slides, serta gambar-gambar dari komputer. Sebuah performance bisa terdiri dari satu atau beberapa orang dan mengambil tempat di mana saja dengan durasi sembarang. Performance art sering menggunakan tubuh si seniman sebagai medium utama. Performance itu mungkin bersifat autobiografis atau melontarkan pernyataan politis, terutama dalam kondisi radikal. Performance sering juga menggandeng kegiatan sehari-hari" .Dengan kata lain ia bukan hanya semata-mata penampilan, tapi juga sekaligus tindakan. Persis karena sifat “alaminya”, performance art menolak definisi yang terlalu akurat atau gampangan, yang melampaui deklarasi sederhana bahwa ini merupakan jenis seni yang dihidupkan langsung oleh senimannya. Definisi yang lebih ketat lagi akan dengan segera dinegasi oleh ruang kemungkinan dari perfomance itu sendiri. (Goldberg, 1988) Rumusan inipun sudah harus dielaborasi lagi karena tuntutan jaman. Hal ini terkait dengan persinggungan seni dan perkembangan teknologi, dalam hal ini adalah teknologi informasi, lebih khusus lagi adalah media rekam. Performance art pada dasarnya memang lebih merupakan peristiwa daripada materi. Presentasi langsung merupakan karakter dasarnya. Karya sebenarnya adalah peristiwa yang hanya terjadi sekali, pada saat itu saja. Karya performance memang bisa dipresentasikan berkali-kali. Namun setiap presentasi selalu terikat pada ruang-waktu spesifik. Hingga presentasi kedua, ketiga, dan seterusnya, merupakan karya yang tidak lagi sama, karena ruang-waktunya berbeda.
Fusi Seni dan Teknologi Mendorong Metamorfosis Dalam perkembangan dunia seni rupa kontemporer Indonesia dewasa ini, khususnya karya-karya yang bersinggungan dengan perkembangan teknologi, sebagai contoh adalah New Media Art (Seni media Baru). Dalam konteks seni, penggunaannya sering difahami sebagai tawaran kemungkinan baru dalam menciptakan atau mengalami kesenian. . Fusi seni dan teknologi ini menurut pendapat Hisanori Gogota, kurator Inter Communication Centre (ICC), Tokyo, yang dikutip oleh seorang kritikus Seni media Baru dari Bandung, Krisna Murti menjelaskan bahwa: “Paling utama untuk mentransformasikan pemahaman modern tentang nilai seni. Gerakan Fluxus (1960-an) memasukkan teknologi media dalam eksperimennya, yang banyak menginspirasi seni video dan media baru umumnya. Terobosan interdisipliner yang meniadakan sekat musik, tari, film/video, seni rupa dan teater di satu sisi melahirkan bentuk seni yang kemudian hari bermetamorfosa menjadi video-patung, multimedia performance hingga video instalasi” ( Krisna Murti, 2007) Sebagai salah satu kasus yang menarik adalah metamorfosa performance art menjadi multi media performance dan yang terakhir bermetamorfosa menjadi video performance. Dalam konteks seni rupa, kata performance art ini memang sulit dicari pada katanya dalam bahasa Indonesia, sehingga banyak orang yang menerjemahkannya menjadi seni pertunjukan (performing art). Tentu saja kedua istilah ini sangat berbeda arti. Performing art atau seni pertunjukan lebih dititik beratkan pada jenis seni pertunjukan yang telah ada seperti tari, musik maupun teater, tetapi kalau performance art adalah perkembangan dari conceptual art yang berkembang dalam dunia seni rupa di mana esthetikanya bukan terletak pada materialnya tetapi pada kekuatan konsepnya. Mungkin ada satu definisi yang cukup singkat dan tepat menurut saya, yaitu pendapat Adi Wicaksono yang lebih mengartikan performance art sebagai seni rupa yang menggunakan tubuh sebagai media atau mediumnya. Tetapi setelah bersinggungan dengan teknologi, akhirnya performance art ini telah bermetamorfosis menjadi multi media performance. Dalam perkembangan performance ini, tidak hanya tubuh yang menjadi medianya (meskipun tubuh tetap menjadi media yang paling utama), tetapi juga dikolaborasikan (mixed) dengan teknologi media sebagai penguat pesan seniman/ perupa yang ingin disampaikan (biasanya mengeksplorasi ruang dan cahaya dengan bantuan komputer/ media player yang output visualnya menggunakan LCD Projector). Dalam genre performace ini, kehadiran tubuh masih sangat dominan, hal ini berbeda dengan video performace. Video performance dalam presentasinya, tubuh sudah tidak lagi menjadi bagian, tetapi yang hadir kemudian adalah tubuh yang virtual (maya). Kehadiran tubuh tidak benar-benar nyata, tetapi kehadirannya dapat terasa dari tampilan visual yang keluar dari projector. Di sini, performance art telah termediasi dan bermetamorfosa.
Video Performance; Bergesernya Medium Telah disebutkan bahwa performance art berbentuk peristiwa, artinya semua hal berpotensi menjadi seni dan ruang presentasinya bisa dimana saja. Dalam kehidupan, tidak ada peristiwa dan ruang yang unik. Semua mengalir begitu saja. Manusialah yang menandainya dan terus berupaya meninggalkan jejak-jejak. Menyaksikan peristiwa adalah upaya memaknai. Dengan begitu kelebihan performance art terletak pada keunikannya sebagai peristiwa. Orisinalitas dan aktualitas merupakan obsesi yang umum. Menyangkut seniman, orisinalitas mengandaikan keutuhan subjek penciptanya, dan aktualitas merujuk pada soal kesegeraan dan keutuhan presentasi. Performance art, dengan dihadirkan langsung oleh senimannya pada publik, melalui pengemukaan tubuh, dalam suatu peristiwa, menunjukan strategi paling jitu dalam mengejar orisinalitas dan aktualitas. Prasyaratnya, tentu saja, presentasi dalam ruang-waktu spesifik. Sesungguhnya ruang yang dipilih oleh performance artist untuk mempresentasikan karyanya akan menjelma menjadi “panggung”. Pada saat kegiatan berlangsung, ruang itu dihuni oleh pemirsa. Merekalah publik pada saat itu. Performance artist tampil menghadapi publik tersebut secara langsung. Performance artist selalu berstrategi menarik perhatian publik pada dirinya, membuat kehadirannya menjadi signifikan. Caranya, performance artist juga harus menyadari kehadiran publik. Masing-masing saling menyadari kehadiran. Dalam situasi seperti ini, dengan teknik tertentu, dapat terjadi peristiwa yang unik dan berkesan mendalam, dalam pengertian kesan yang bisa bergaung di masa datang. Karya performance yang baik adalah karya yang berhasil memukau publik. Publik berhasil dipersuasi untuk mengamati tiap rinci. Sebaliknya, publik akan menuntut keunikan peristiwa yang membuatnya bersedia memperhatikan performance itu, rinci demi rinci. Dari penegasan paparan di atas akhirnya muncul sebuah pertanyaan, ketika sebuah performance art sangat bergantung sekali dengan pilihan ruang yang tepat serta keterlibatan publik (audiens atau penonton), sehingga menciptakan sebuah peristiwa yang unik dan dapat memukau publik. Bagaimana itu bisa terjadi kalau performance art itu akhirnya hanya berbentuk rekaman video? Kemampuan memukau publik adalah kemampuan menguasai ruang. Publik yang dibidik bukan hanya pemirsa yang hadir langsung pada saat presentasi, melainkan juga “pemirsa di masa datang”. Dalam kegiatan ini kamera hendak diperlakukan bukan sebagai alat perekam. Kamera diposisikan untuk membawa pemirsa di masa datang hadir di masa sekarang. Kamera dimanfaatkan untuk meluaskan “panggung” dari performance art, yaitu ruang-ruang yang ditempati. Kamera meluaskan ruang hingga melampaui batasan dunia nyata: ia bisa meraih ruang maya dan menyentuh persepsi pemirsa. Kemampuan memukau menjamin penyerapan simpul-simpul perenungan, kamera menjamin ketersebarannya. Dalam video performance, ada kesadaran lain untuk menampilkan performance secara lebih konseptual: adegan performance yang telah dirancang, dihadirkan dalam media video. Mungkin lebih mudahnya seperti eksperimentasi pada teater yang dicoba difilmkan, namun seutuhnya meninggalkan pola performance secara live sendiri, karena kemungkinan adanya pengulangan adegan menjadi ada. Performance yang semula tidak mengenal adanya pengulangan adegan, dengan kesadaran bahwa dalam proses perekamannya dengan video (tidak adanya penonton, tidak adanya keharusan untuk tidak mengulang), menjadi dapat dilakukan berulang-ulang. Entah seutuh gerakannya dari awal, atau dengan melakukan ulangan hanya pada gerakan yang dirasa kurang pas. Ada konsekuensi cut, shooting dan editing seperti layaknya film di sana. Karena performance tersebut dikatakan "jadi" ketika seluruh proses video tersebut juga telah selesai. Kesadaran pengulangan, dalam hal ini bukanlah kelemahan, namun semata adalah kesadaran untuk mengeksplorasi sisi representasi menjadi lebih terasah. Dan nilai-nilai ini kemudian menghadirkan konsepsi lebih jauh. Ketika performance hadir seutuhnya dalam frame realitas nyata serta interaksinya dengan publik, namun kini, performance hadir dalam bentuk video. Sehingga publik tidak terpancing secara real untuk menikmati performance (entah dalam frame stage performance: performance di panggung, dengan publikasi ataupun street perfomance: yang langsung menjemput ruang publik), namun video performance itu sendirilah yang hadir secara lebih personal (dalam bentuk video, yang kuasa putarnya lebih pada penonton), atau pula hadir dalam bentuk pemutaran (layaknya stage performance tanpa manusia nyata), ataupun juga menjemput ruang publik pula (dengan screen atau dinding gedung sebagai layar), ataupun merupakan penggabungan antara video performance dan real performance itu sendiri. Maka dalam konteks video performance, struktur karyanya terbangun dari deretan pencitraan visual yang keluar bersusulan. Seperti halnya dalam video art, penciptaan citra itu pun berlaku pada pola yang sama: penciptaan citra lahir dalam proses digital (mencipta, seperti mencipta animasi), atau mengambil bahan berupa citra lain (citra-citra curian: non-orisinalitas, citra dokumentasi, atau imajinasi perupanya sendiri) yang disesuaikan dengan konseptualitasnya seperti layaknya lukisan. Pemadatan durasi dalam video art sendiri mungkin berlaku sebagai pemadatan citra dalam luas media kanvas dalam lukis, ataupun dimensi dalam seni instalasi.
Kepentingan Pasar dan Partisipasi Internasional Perkembangan seni rupa di Indonesia masa kini secara historis tidak dapat dipisahkan dari berbagai pengaruh global yang menimbulkan kecenderungan-kecenderungan dalam mengadopsi , mengapresiasi, mensintesa pemikiran-pemikiran baru yang tersampaikan baik melalui pendidikan, literatur, media massa, teknologi, hubungan internasional yang semuanya bermuara pada wacana, ideologi, pasar dan praktika seni rupa. Demikian juga performance art dan video performance juga hasil pengadobsian seni rupa barat yang masuk ke indoensia pada dekade 1970-an dan berkembang pesat di tahun 1990-an. Sebagai sebuah seni garda depan (avant garde) seperti uraian di atas, “originalitas” dan keseriusan performance art mendapat tantangan dari kaum kapitalis masyarakat modern. Performance art yang pada awalnya menjadi agen perubahan nilai di masyarakat, oleh mereka dibelokkan menjadi ujung tombak periklanan untuk kepentingan pasar. Hal ini memang tidak bisa dihindari, ketika performance art lahir sebagai seni kontemporer yang didorong oleh post modern, maka dia secara utuh mengikuti seluruh sifat dan karakter dari post modern itu sendiri, salah satunya adalah adanya kebuntuan pemilahan antara seni dan budaya popular. Tidak ada batas yang pasti, karena posmo memang tidak percaya pada kebenaran tunggal. Tidak mengakui “genue seni” lebih tinggi atau serius dari seni yang lainnya, semua dianggap punya nilai sendiri yang harus dihormati. Semua merupakan hasil pekerjaan manusia, sebuah transformasi lingkungan material lewat kerja manusia, bukannya buah dari praktik mistis para jenius. Salah satu aspek dari proses ini adalah bahwa seni menjadi semakin terintegrasi dengan ekonomi keduanya karena digunakan untuk mendorong orang mengkonsumsi melalui peranan besar yang dimainkannya dalam iklan maupun karena seni telah menjadi barang komersial tersendiri. Aspek lainnya adalah bahwa budaya popular postmodern menolak menghargai pretensi maupun kekhasan seni. Oleh karena itu, penjabaran, pemilahan antara seni dan budaya popular maupun persilangan di antara keduanya sudah semakin menyebar. (Strinati, 259) Kecenderungan ini semakin besar ketika dalam industri periklanan sejak tahun 1999 mengenal lahan baru bernama ambient media, yaitu media publikasi yang menggunakan media tradisional (baliho, poster, spanduk, brosur, dll) tetapi menjelajah pada media alternatif yang baru. Kesuksesan kampanye ambient media ini sangat ditentukan pada ketepatan media yang digunakan dan efektivitas pesan yang tersampaikan pada komsumennya. Performance art ditangan mereka terkomodifikasi menjadi karya “kitch” atau seni “palsu”, yang secara hegemonik mampu membuat bias performance art “yang sesungguhnya”. Kitsch memunculkan sebagian dari keyakinan dalam ketidak cocokan tentang antitesis sosial dan optimisme bahwa kita dapat sekedar berpindah dari satu kelas sosial ke yang lain di luar dunia ilusi ke dalam realitas dari realitas mimpi ke dalam tanah yang dipenuhi oleh burung tentang pemenuhan. Namun demikian mungkin dalam sekilas, kitsch adalah “seni yang palsu”. Seni di dalam bentuk yang murah, pemanis, sentimental, sebuah representasi tentang realita yang disalahkan. (Hauser, 596) Performance art yang dulunya menjadi seni garda depan dan sebagai media perlawanan terhadap realitas sosial, ditangan kaum kapitalis telah berubah fungsinya menjadi agen pasar. Di Indonesia dapat kita dapati bentuk ambient media yang menggunakan performance art sebagai media iklan seperti Esia dan Telkomsel (Kartu As) yang sering dijumpai di lampu merah perempatan-perempatan jalan menggunakan kostum menyebarkan brosur produk baru mereka. Atau oleh perusahaan rokok Bentoel yang pada tahun 2004-2005 dalam kampanye iklan produk “Star Mild” mereka melibatkan partisipasi seniman lokal untuk berkompetisi membuat pertunjukan dan pesta kostum dengan warna dominan biru. Terbaru adalah “X-mild”, dalam setiap program acara konser musik yang mereka sponsori pasti dibumbuhi performance art dengan menggunakan jubah hitam-hitam sambil membawa obor berdiri di jalan masuk tempat pertunjukan. Sedangkan seniman “yang asli”, sekarang ini masih menjaga keotentikan spirit performance art. Mereka masih membuat gerakan-gerakan perlawanan. Dalam konteks dunia seni, para seniman performance art sekarang ini masih terus mengkritisi hegemoni para aparatus-aparatus dunia seni rupa. Keseriusan mereka telah mampu membangun aparatus-aparatus penyangga bagi kehidupan dan keberlangsungan performance art dengan jalan membangun jaringan kerja dan festival sendiri di luar event-event besar yang dibangun oleh aparatus seni rupa modern. Kegiatan mereka tidak tampak di galeri seni yang berideologi pasar dalam kontek ekonomi, tetapi di galeri yang berideologi “pasar” wacana. Bahkan satu dekade ini para performer (seniman performance art) telah mampu membuat festival sendiri sebagai ruang silaturahmi dan berbagi pengalaman serta pemikiran. Di Indonesia tercatat ada tiga festival performane art Internasional yang dihadiri oleh performamer dari 5-13 negara setiap tahunnya, yaitu; di Galeri Nasional Jakarta (yang selalu berubah nama kegiatan disesuaikan dengan tema yang diangkat), di Jogja (Performance Art Urbans/ Perfurbans) yang sudah berjalan empat kali, di Solo (Undisclosed Territory Performance Art Event), dan tahun depan bertambah satu lagi di Surabaya (Surabaya Internasional Performance art Festival).
Kesimpulan Kemunculan Performance Art banyak dipengaruhi oleh Dadaisme dan futurisme. Dengan menggunakan tubuh sebagai medium, akhirnya performance art seperti melakukan dematerialisasi dalam seni. Performance art sudah tidak mengacu pada konvensi media seni manapun dan yang paling membuatnya sedikit berbeda adalah interaksi antara performer dengan audien yang ada sehingga sudah tidak ada lagi batasan panggung maupun pemain. Maka dalam Performance Art, menjadi tidak penting pelakunya itu seniman atau bukan. Sedangkan temanya, seperti bentuk-bentuk karya Dada yang sangat bertendensi, performance art banyak berbicara tentang konstelasi politik lokal maupun global. Akhirnya kekritisannya tidak saja terarah pada seni, tetapi juga pada realitas sosial yang ada di sekitarnya. Di Indonesia performance art muncul tahun 1975 seiring dengan adanya Gerakan seni rupa Baru. Pada awal kemunculannya sampai tahun 2000, performance art masih ”murni” menjadi seni garda depan. Kritis terhadap dunia seni rupa Indonesia dan muncul di jalan-jalan bersama mahasiswa dan masyarakat berdemonstrasi memperjuangkan nilai keadilan. Ketika muncul genre baru dalam seni rupa (media art dan new media art) yang lahir dari persinggungan seni dan teknologi, performance art mengalami metamorfosa. Dari performance art multi media ((tidak hanya tubuh yang menjadi medianya, tetapi juga dikolaborasikan (mixed) dengan teknologi media sebagai penguat pesan seniman/ perupa) dan Video Performance (tubuh sudah tidak lagi menjadi bagian, tetapi yang hadir kemudian adalah tubuh yang virtual/ maya). Di sisi lain, dalam realitas sosial yang terjadi di masyarakat kita muncul kecenderungan baru dalam praktik periklanan, yaitu ambient media yang membelokkan arah perjuangan performance art dari seni garda depan menjadi ujung tombak pasar. Di mata para praktisi periklanan sebagai salah satu aparatus kapitalis, performance art menjadi satu peluang media iklan alternatif yang dianggap cukup efektif untuk mempengaruhi masyarakat dalam kampanye produk tertentu.
Oleh: Satriana Didiek Isnanta, S.Sn
(Tulisan ini sudah diterbitkan di jurnal ilmiah Ornamen (UK. Petra Surabaya)
DAFTAR REFERENSI Admin, Tentang Video Art, dalam http://endonesa.net/articles.php? id=4&page=3, 27/05/2003 Atkins, Robert, Art Speak, A Guide to Contemporary Ideas, Movements, and Buzzwords, New York, Abbiville Press Publisher, 1990. Asikin Hasan, Seni Media Baru, Apanya yang Baru?, dalam Majalah Seni Rupa Visual Art, Edisi Agustus/ September 2004. Barker, Chris; Cultural Studies; Teori dan Praktik, PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta, 2005 Fakhrizal, Sinergi Seni dan Teknologi Menuju Peradaban Manusia Yang Unggul, dalam H.U.Kompas, Sabtu, 18 Juni 2005. Goldberg, Rose Lee, Performance Art – From Futurism to the Present , London, Penerbit Thames and Hudson, 1988 Heru Hikayat, Occupying Space, dalam pengantar Festival Performance art “Occupying Space” di Lombok, 2007 Krisna Murti, Media Baru dan Seni Media Baru, dalam http://www.goethe.de/ins/id/lp/prj/art/plf/med/id1625438.htm Plekhanov, Georgy V, Seni dan Kehidupan Sosial, Bandung, CV. Ultimus, 2006 Satriana Didiek, Performace Art; Seni yang Menghajar Emosi, dalam H.U. Bengawan Pos, Minggu, 5 Desember 2004 Satriana Didiek, Persinggungan Seni dan Teknologi Sebagai Ide Penciptaan karya Video Performance, dalam Laporan Studi Penciptaan Karya Seni di ISI Surakarta, 2007 Syafruddin, Telaah Estetika, dalam buku pegangan mata kuliah Estetika, PPs ISI Yogyakarta, 2006 Strinati, Dominic, Popular Culture; Pengantar Menuju Budaya Populer, Yogyakarta, Bentang, 1995 Mikke Susanto, Membongkar Seni Rupa, Jogja, Galang Press, 2001. Walker, John A, Gloosary of Art, Architecture and Design Since 1945, London, Clive Bingley Ltd, 1977. Zorn, Peter, Perkembangan seni rupa media di Jerman, dalam www.goethe.de /ins/id/lp/prj/art/ksd/med/id43041.htm, 2005. NN, Ambient Media, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Ambient_media

0 komentar:

Followers

 

kebovisual. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com