Friday, 5 September 2008

TV LOKAL PEMBENTUK IDENTITAS KULTURAL(Studi Kasus Terang Abadi Televisi Surakarta)


Sejarah pertelevisian di Indonesia, diawali dengan berdirinya Televisi Republik Indonesia (TVRI), secara resmi pada 24 Agustus 1962, meskipun sebenarnya sudah siaran sejak 17 Agustus. Dengan kekuatan hanya 100 watt, menara untuk antena setinggi 80 meter, dengan tenaga 80 orang yang berprofesi ganda--kadang reporter merangkap sutradara lapangan, merangkap sopir--liputan pesta olahraga ASEAN Games bisa disajikan urut. Kemudian, acarapun bergulir. Laporan pertandingan sepak bola Indonesia melawan Swedia, meletusnya gunung Agung di Bali (31 Maret dan 1 April 1963), serta membuka dompet bencana alam. Iklan pertama dalam bentuk slide (1 Maret 1963) dan banyak yang pertama lainnya. Sejak itu, era yang berlangsung adalah eranya pemerintah, ketika semua tata nilai dan tata krama sepenuhnya diatur oleh pemerintah Orde Baru. TVRI memonopoli siaran, memonopoli produksi, dan mendirikan Dewan Siaran Nasional dengan pejabat pemerintah yang itu-itu juga. TVRI menjadi the one and only yang sebenar-benarnya. Tak mungkin ada stasiun siar lain, tak ada program atau acara yang menyindir atau mempertanyakan kebijaksanaan pemerintah, bahkan lirik lagu pop bisa dilarang, grup musik dengan anggota yang dianggap pembangkang tak boleh tampil lagi, dan dialog dalam lawakan bisa terkena sensor. Tak ada semangat lain selain "pembangunan". Seiring berjalannya waktu, pemerintah melalui Departemen Penerangan mengeluarkan izin untuk siaran terbatas, dengan penonton harus menggunakan decoder serta membayar uang langganan. Pemerintah mulai memberi izin berdirinya RCTI pada akhir 1990. Segala tata krama pertelevisian, yang selama ini dicanangkan dengan kuat, dilanggar. Puncaknya adalah 23 Januari 1991, ketika TPI, yang menyandang beban pendidikan, bisa bersiaran terbuka secara nasional. Bahkan awalnya masih memakai perlengkapan, tenaga yang ada di TVRI. Tidak usah berlangganan bagi pemirsa dan membuka pintu lebar untuk pemasang iklan. Ketika tata nilai dan tata krama pertelevisian dikhianati, segala apa bisa terjadi. Penjungkirbalikkan apa yang diterima selama ini bahwa pemerintah sebagai satu-satunya badan yang berhak mengadakan siaran, bahwa iklan tidak menguntungkan bagi semangat pembangunan, tidak berlaku lagi. Kalaupun kemudian ANTV izinnya berbasis di Lampung dan SCTV di Surabaya bisa leluasa dan tetap dari Jakarta, itu merupakan konsekuensi dari pengkhianatan pertama yang tidak diprotes atau dipertanyakan. Demikian juga dengan siaran sistem berlangganan, baik melalui satelit maupun kabel, merupakan bagian dari ini. Seperti juga munculnya stasiun siar (berizin) lokal yang jumlahnya terus meningkat. Menurut data dari Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) sekarang ini TV lokal yang sudah menjadi anggotanya berjumlah 28, yaitu; Lombok TV, Makassar TV, JTV-Surabaya, Gorontalo TV (GOTV), TV Borobudur (Semarang), Riau TV, Srijunjungan TV (Bengkulu), Bali TV, Batam TV, Publik Khatulistiwa TV (Bontang), Jogja TV, Terang Abadi Televisi (Solo), Bandung TV, O’Channel (Jakarta), Jak TV (Jakarta), Cahaya TV (Banten), Space Toon TV Anak (Jakarta), Megaswara TV (Bogor), Cakra TV (Semarang), Cakra Buana Channel (Depok), Pal TV (Palembang), Kendari TV, Tarakan TV, MQTV-Manajemen Qolbu Televisi (Bandung), Ratih TV (Kebumen), Ambon TV, Sriwijaya TV (Palembang), dan Aceh TV. Dua puluh delapan televisi lokal anggota ATVLI ini pasti hanya sebagian dari jumlah televisi lokal yang ada di Indonesia, berarti di luar itu jumlah televisi lokal yang hadir setelah UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran masih banyak lagi. UU penyiaran 2002 dan TV Lokal Pengesahan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan tonggak penting bagi eksistensi televisi lokal, karena merupakan payung hukum resmi dan demokratis bagi penyiaran di tanah air. Televisi Lokal yang hadir dengan spirit otonomi daerah, sangat dirasakan dampak kehadirannya sebagai warna baru dunia penyiaran tanah air. Berbagai daerah selama ini disadari kurang optimal diangkat dalam wujud audio visual. Sehingga kehadiran televisi lokal, menjadi solusi penting untuk hal tersebut. Dibungkus dengan kemasan lokal yang kental, televisi lokal selalu berupaya mempersembahkan yang terbaik bagi masyarakat dengan kearifan lokal yang berbeda-beda. Paket tayangan yang bermaterikan sosial, budaya, pariwisata, ekonomi, dan unsur kedaerahan lainnya tentunya menjadi suatu kebutuhan bagi seluruh lapisan masyarakat tersebut, demi optimalisasi pembangunan setempat. Termasuk diantaranya harapan atas peluang pembukaan lapangan pekerjaan baru bagi daerah. Selain itu, cita-cita UU penyiaran 2002 adalah untuk meletakkan pondasi bagi sistem desentralisasi penyiaran. Jadi pemerintah daerah juga punya hak untuk dapat menikmati manfaat yang lebih baik dari ranah penyiaran, baik di wilayah isi siaran (diversity of content) maupun di wilayah bisnis ekonomi penyiaran (diversity of ownership). Semestinya, 28 Desember 2007 adalah batas akhir transisi dari sistem relai menjadi sistem berjaringan. Namun, mengingat hingga kini pemerintah belum juga mengeluarkan aturan mainnya, maka paling banter batas waktu akhir tersebut baru akan menjadi batas permulaaan. Pemerintah diharapkan tidak lagi menunda meski, dalam ketentuan peralihan UU Penyiaran 2002, masih dimungkinkan dengan alasan-alasan khusus. Pasalnya, penundaan berarti adalah interupsi terhadap cita-cita UU Penyiaran 2002 untuk meletakkan pondasi bagi sistem desentralisasi penyiaran. Cita-cita UU Penyiaran 2002 itu kelihatannya memang sangat luhur ingin membagi “kue” ekonomi ke daerah-daerah, tetapi yang menjadi pertanyaannya kemudian sejauh mana daerah (baik pemda maupun pengusaha) mampu bersaing dengan pemodal nasional? Dan format sajian TV Lokal seperti apa yang mampu dan bisa merebut pemirsa serta pemasang iklan lokal dan nasional? Mampukan muatan acara lokal sebagai identitas budaya lokal bersaing dengan acara TV nasional yang sudah mengglobal? Banyaknya pertanyaan di atas yang harus dicermati dan dijawab dengan sungguh-sungguh oleh praktisi Televisi Lokal, kalau mereka mau tetap bertahan dan ingin bersaing dengan TV nasional. Tetapi patut di sayangkan juga, ketika TV lokal banyak yang lahir dan muncul setelah pemerintah mengeluarkan UU Penyiaran 2002, sehingga kemunculan TV Lokal terkesan hanya untuk menjaring TV nasional agar mau menjadikan mereka partner di daerah. Sebagai contoh di kota Solo, ada 5 channel yang disediakan Pemda Surakarta, semuannya sudah habis dibeli oleh pengusaha televisi, tetapi kenyataannya yang beroperasi hanya Terang Abadi Televisi (TATV), di channel 50 UHF, selebihnya tidak tahu kemana?
Sedikit tentang TATV Terang Abadi Televisi (TATV) di channel 50 UHF, mempunyai pemancar (Italy Digital 10Kw-sistem terbaru) di Patuk Gunung Kidul dengan jangkauan Yogyakarta , Sleman , Bantul , Wonosari , Gunung Kidul , Kulon Progro , Magelang , Temanggung , Wonosobo , Purworejo , Kutoarjo , Kebumen ,Surakarta , Klaten , Boyolali , Wonogiri , Karanganyar , Sragen , Mantingan , Ngawi. Bahkan menurut rencana strategis mereka akan membangun stasiun pemancar di Gombel Semarang, agar dapat mengcover beberapa daerah di Pantura Jawa Tengah. TATV adalah salah satu televisi lokal yang serius dalam hal manajemen dan peralatan, Peralatan mereka sekualitas dengan stasiun televisi nasional, misalnya perlengkapan Editing Supermicro ( Dual Xeon Procesor ) Mcr dengan perlatan Digital Automation Kamera Studio Sony DSR-390 , DXC 50P , DSR-170 Serta mempunyai 3 studio, satu studio out door, satu VIP Room dan satu Ob Van (Off air event). PT. Televisi Terang Abadi hadir dengan visi memberi sumbangsih yang berarti guna kemajuan daerah dan masyarakat pemirsa dalam segala bidang kehidupan, melalui perubahan paradigma berpikir dan berperilaku. Untuk mewujudkan visi tersebut, PT. Televisi Terang Abadi menyiapkan langkah-langkah strategis berupa misi yaitu menjadi televisi yang memberi pencerahan pada paradigma berpikir dan berperilaku masyarakat pemirsa menuju pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Dengan Berslogan TATV MATEB (Masa kini dan tetap berbudaya ), Mereka berharap menjadi televisi yang memberikan hiburan – hiburan yang menarik serta mengangkat informasi dari daerah – daerah dan tidak ketinggalan pula budaya daerah.
Berita Daerah yang Berbahasa Daerah
Menarik untuk dibahas adalah muatan lokal yang dihadirkan oleh TATV dalam program beritanya. TATV mungkin juga televisi lokal lainnya dengan muatan berita daerahnya yang meruah pasti lebih mempunyai daya tarik dibanding TV nasional. Dengan pertimbangan beaya produksi yang tidak mahal dan serumit kalau bikin produksi program acara hiburan (misalnya sinetron, musik, dll), ternyata berita mampu menjadi mata acara unggulan tersendiri. Dan berita inilah yang akhirnya membuat TATV menjadi TV komunitas masyarakat Solo.
TATV mempunyai beberapa mata acara berita, yaitu Surakarta Hari Ini, Jogja Hari Ini, Jurnal Siang dan beberapa berita dalam bahasa Jawa, yaitu Kabar Awan, Kabar Wengi (bahasa Ngoko) dan Trang Sandyakala (bahasa Kromo Inggil/halus). Menarik untuk dibahas disini ternyata yang menjadi unggulan atau paling tinggi ratingnya justru bukan Surakarta Hari Ini tetapi Kabar Wengi. Pola berita menggunakan bahasa Jawa Ngoko ternyata masih menjadi satu hal banyak dinanti oleh masyarakat Solo-Jogja dan sekitarnya. Hal ini seperti pendapat Hallyday (1972) tentang fungsi interpersonal bahasa yang dikutip oleh Alex Sobur.
Dalam pandangan Halliday, salah satu fungsi bahasa adalah untuk memelihara hubungan antar sesama manusia, dengan menyediakan wahana ungkap terhadap status, sikap sosial dan individual, taksiran, penilaian dan sebagainya; dan ini memasukkan partisipasi ke dalam interaksi bahasa. (Alex Sobur, 2001) Apalagi kalau merujuk pendapat Mcluhan, “The Medium is the Messege” , medium itu sendiri merupaka pesan. Apa-apa yang dikatakan ditentukan secara mendalam oleh medianya. Pendapat ini juga diperkuat oleh Hall (1973) Karena wacana televisi menerjemahkan dunia tiga dimensi ke dalam pesawat dua dimensi, tentu saja ia tidak dapat mejadi referen atau konsep yang ia tandakan…Realitas mengada di luar bahasa, namun realitas terus menerus dimediasi oleh dan melalui bahasa. “pengetahuan” diskursif bukanlah produk dari representasi transparan dari yang “nyata” dalam bahasa, melainkan produk dari artikulasi bahasa terhadap pelbagai hubungan dan kondisi yang nyata. (Storey, 2007; 13)
Berkaitan dengan pilihan bahasa, lebih lengkap kalau kita juga tidak lupa membicarakan tentang premis bahwa manusia itu sebetulnya adalah “animal simbolicum” atau binatang yang mampu menggunakan serta mengembangkan simbol-simbol untuk berkomunikasi dan memberikan makna pada lingkungan dan prilakunya (Geertz, 1973). Manusia tidak mungkin lepas dari simbol sebagai "alat transaksi" dalam hubungan antar manusia dan bahasa merupakan simbol utama yang diproduksi dan dikonsumsi manusia. Bahasa merupakan muara dari imajinasi, pemikiran, bahkan konsep realitas dunia. Dari beberapa uraian teori di atas, jadi tidak heran ketika Trang Sandyakala yang juga menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil justru kurang diminati karena menurut beberapa responden yang diwawancara justru banyak yang bingung dan kurang menguasai bahasa halus tersebut. Banyak kosa kata yang sudah hilang pada perbendaharaan kata mereka, hal ini tidak terjadi pada bahasa Ngoko pada Kabar Wengi yang masih mereka gunakan setiap hari.
Disamping berita harian seperti di atas, TATV juga mempunyai beberapa berita khusus kriminal, yaitu Patroli Joglosemar (bekerjasama dengan Borobudur Televisi) dan Pos Ronda 9. Kedua pemberitaan ini formatnya hampir sama kalau kita melihat Sergap atau Patroli dari Televisi Nasional. Tetapi yang menjadi unggulan dari acara ini, berita yang ditampilkan adalah berita-berita daerah, peristiwa yang ada dan berlangsung disekitar pemirsanya, sehingga mereka lebih merasa memiliki dan merasakan dibanding dengan kalau kita melihat TV nasional yang jelajah beritanya lebih luas.
Kalau melihat beberapa tayangan berita di TATV sebetulnya kita tahu betapa TATV sudah begitu serius dalam manajemen pemberitaanya. Berita hadir murni sebagai sebuah informasi yang memang dianggap penting bagi pemirsanya. Berita tidak disusupi iklan terselubung (misalnya advitorial), maka dalam pemberitaan di TATV kita tidak akan menemukan berita yang bermuatan seremonial; peresmian sesuatu!
Inilah yang menjadi alasan kenapa acara berita di televisi lokal bisa menjadi satu program unggulan dan bisa menjadi pembentuk kesadaran publik bahwa begitu pentingnya media lokal sehingga akan mendorong mereka untuk memiliki TV lokal dan menjadikannya TV komunitas. Ada beberapa faktor kenapa TV lokal bisa lebih diminati daripada TV nasional; pertama memuat peristiwa daerah di sekitar pemirsanya, sehingga pemirsa lebih mempunyai keterikatan batin tehadap peristiwa yang diberitakan (misal pembunuhan di kalurahan Pajang di Solo pasti akan lebih menyita perhatian pemirsa dari pada pembunuhan yang terjadi di banda Aceh atau Jakarta).
Kedua, komposisi ruang pemberitaan; berita-berita lokal di dalam kebijakan redaksi berita Nasional pasti akan dibandingkan dengan berita-berita dari daerah lain atau dengan kata lain ruang untuk satu daerah tidak sebanyak kalau di pemberitaan TV Lokal. Dengan kesadaran ini, banyak narasumber yang didatangi oleh wartawan TATV lebih suka dibanding dengan TV nasional manapun, karena mereka beranggapan bahwa kalau TATV pasti akan diberitakan kalau TV nasional belum tentu keluar (dengan catatan bukan berita yang luar biasa; semisal bencana alam yang luar biasa atau tinjauan pejabat pusat).
Ketiga; kedekatan, kecepatan dan kemudahan koordinasi. Faktor ketiga ini sangat menentukan dalam konteks peristiwa yang sangat urgen atau penting sekali dan informasi itu harus secepatnya sampai ke masyarakat. TV lokal lebih diuntungkan. Sebagai contoh kasus musibah Banjir di Solo beberapa hari lalu, Pemkot Surakarta menggandeng TATV siaran langsung dari rumah dinas Walikota Surakarta berkaitan dengan langkah-langkah strategis Pemkot Surakarta dalam menanggulangi banjir baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kenapa Pemkot Surakarta lebih tertarik dengan TATV, karena dianggap lebih cepat sehingga memudahkan koordinasinya.
TATV dan Budaya Daerah
Disamping acara berita, TATV sesuai dengan misinya yaitu menjadi televisi yang memberikan hiburan – hiburan yang menarik serta mengangkat informasi dari daerah – daerah dan tidak ketinggalan pula budaya daerah, juga mempunyai beberapa mata acara unggulan berbasis budaya daerah, yaitu Campursari, Keroncong, Kembang Lambe, Ketoprak, wayang orang, Pecas Ndahe dan Toprak Pendhapan.
Ketoprak dan Wayang Orang pada awal-awal berdirinya TATV sangat dinanti oleh masyarakat Solo, dengan anggaran dana yang minim, TATV mampu menyuguhkan mata acara hiburan yang bersifat lokal dan mampu menarik perhatian para pemirsanya. Dengan dana yang minim, karena TATV hanya merekam dan menyiarkan ulang pementasan ketoprak Balekambang dan wayang orang Sriwedari. Tetapi sayang sekarang ini, kedua acara tersebut telah hilang, karena memang keduanya sedang fakum. Kedua tempat pentas mereka (taman Balekambang dan taman Sriwedari), sekarang ini sedang direvitalisasi oleh Pemkot Surakarta. Kemudian TATV tidak hanya berhenti di situ saja, dia mengembangkan program acara hiburan daerahnya dengan salah satu mata acaranya adalah Toprak Pendhapan. Toprak Pendhapan ini adalah kelompok ketoprak yang didirikan oleh Teater Gidag Gidig Surakarta. Format ketopraknya sendiri lebih mirip ketoprak pada wal-awal berdirinya yaitu ketoprak lesung. Dengan beberapa bintang tamu pemain ketoprak asli dari Ketoprak Bale Kambang ditambah dengan Joleno (Siswa Budaya), Toprak Pendhapan dengan banyolan-banyolannya yang segar mampu menarik perhatian pemirsa. Kenapa itu bisa terjadi, kenapa wayang dan ketoprak masih menarik perhatian pemirsa? Masalah ini berkaitan dengan karakter budaya massa dan produk-produknya yang berkembang di dalam masyarakat kita sekarang ini, lewat sosiologi komunikasi dalam konteks hubungan komunikasi massa dengan budaya massa.Budaya massa sangat berhubungan dengan budaya popular sebagai sumber budaya massa. Bahkan secara tegas dikatakan bahwa, bukan populer kalau bukan budaya massa, artinya budaya tradisional juga dapat menjadi populer apabila menjadi budaya massa. Contohnya adalah Srimulat, Ludruk, Ketoprak maupun Campursari. Pada mulanya kesenian tradisional ini berkembang di masyarakat tradisional dengan karakter-karakter tradisional, namun ketika kesenian ini dikemas di media massa, maka sentuhan-sentuhan populer mendominasi seluruh kesenian tradisional itu, baik cerita, kostum, latar, dan sebagainya tidak lagi menjadi konsumsi masyarakat pedesaan namun secara massal menjadi konsumsi semua lapisan masyarakat di pedesaan dan perkotaan. (Burhan Bungin, 2006;77-78)
Dari fenomena di atas kita jadi sadar bahwa secara tidak langsung fungsi sosial wayang bagi masyarakat Jawa telah bergeser dan berubah khususnya bagi masyarakat urban perkotaan yang mengkonsumsi budaya massa. Wayang yang dahulunya sebagai tontonan dan tuntunan, sekarang mereka melihat wayang hanya sebatas pada menikmati sebuah hiburan. Hal ini sangat berbeda dengan masyarakat agraris Jawa yang tiggal di pedesaan, fungsi sosial wayang sebagai media pendidikan, ritual, hiburan dan informasi masih sering diadakan, misalnya untuk ritual ruwatan, bersih desa, ruwahan dan lain-lain. Disamping fungsi di atas sebetulnya pada hakekatnya merupakan suatu bentuk kesetia-kawanan sosial masyarakat.
Tidak hanya seni tradisi yang lahir dari Surakarta saja, tetapi kesenian yang bertumbuh dan besar di Surakarta sehingga sudah dianggap seni lokalpun juga diangkat oleh TATV, misalnya musik Kroncong bekerjasama dengan HAMKRI (Himpunan Musisi Keruncong Republik Indonesia) Surakarta pimpinan Hj. Waldjinah dan musik Campursari bekerjasama dengan Cak Diqin. Dua mata acara ini sangat menarik, karena kedua jenis aliran musik ini memang berurutan, musik campursari adalah pengembangan dari musik keroncong. Sangat menarik karena audiensnyapun juga berbeda, mereka punya segmen pemirsa yang berbeda; musik keroncong banyak diminati kaum tua yang konservatif sedangkan campursari anak muda urban perkotaan dari kelas menengah bawah.
Tidak itu saja, TATV juga memberi ruang bagi seniman lokal yang punya personal style sehingga punya pembeda dari karya-karya seniman lainnya, salah satunya adalah kelompok musik humor “Pecas Ndahe”. “Pecas Ndahe” adalah kelompok musik humor asli kota Solo generasi kedua di jurusan Seni Rupa UNS, setelah Suku Apakah (yang kemudian bergani nama menjadi Teamlo). Seiring berjalannya waktu, karena Teamlo lebih fokus melanjutkan karier mereka ke Jakarta (akhirnya diambil oleh TPI), maka Pecas Ndahe mampu menguasai Solo dan sekitarnya. Pecas Ndahe mampu menjadi ikon musik humor aseli Solo, pertimbangan ini pulalah yang akhirnya TATV mau bekerjasama dan menayangkan Pecas Ndahe di salah satu program acara.
TATV dan Pembentukan Identitas Kultural
Menonton televisi membentuk dan terbentuk oleh bentuk-bentuk identitas cultural. Televisi menjadi sumber bagi pembentukan identitas kultural, dan pemirsa juga menggunakan identitas dan kompetensi kultural mereka untuk mendekode program-program dengan cara khas masing-masing. Seiring mengglobalnya televisi, perannya dalam pembentukan identitas etnis dan nasional menjadi semakin penting (Barker, 1999). Studi skala besar yang paling terkenal tentang identitas kultural nasional/etnis adalah kajian Liebes dan Katz (1991) terhadap resepsi Dallas pada pemirsa dari beberapa latar belakang etnis dan budaya.
Penelitian Liebes dan Katz tentang Dallas menunjukkan beberapa hubungan penting antara televisi dan identitas nasional/ kultural. Yang paling penting, kita bisa berkesimpulan bahwa pemirsa menggunakan identitas nasional dan etnis mereka sendiri sebagai posisi untuk membaca/ mendekode program-program. Televisi Amerika tidak begitu saja dikonsumsi oleh pemirsanya, yang bisa dengan gampang merusak identitas-identitas kultural yang indigenous . Justru penggunaan identifikasi kultural dalam ekspresi mereka, menjadi titik resistensi yang mendorong pembentukan identitas kultural. Kalau ada beberapa nada miring tentang keberadaan TATV di Solo berkaitan dengan materi presenter dan program acara yang memang formatnya hapir sama dengan program televisi nasional, hal itu memang tidak bias dipungkiri. Ada beberapa alasan yang mungkin bisa menjadi pembelaan tentang hal itu; pertama TATV dengan muatan lokalnya (termasuk Sumber daya manusia yang ada di dalamnya), tentu dalam rekruitmen juga masih mengandalkan potensi lokal yang secara kualitas di bawah presenter nasional. Di satu sisi, para pemirsa televisi di kota Solo sudah terbiasa dengan karakter dan gaya presenter nasional sehingga jadi aneh ketika meilihat presenter TATV beraksi di depan kamera. Kedua berkaitan dengan format acara yang hampir sama dengan TV nasional, sebetulnya itu bukan satu hal yang aneh, karena bukankah kalau kita mau mencermati semua TV nasioanal juga mempunyai masalah yang sama yaitu keseragaman dalam hal program acara? Kenapa itu tidak dipermasalahkan, justru keberadaan TV lokal yang dipersoalkan? Padahal substansi dari isian materi acaranya sudah mengandung muatan lokal yang luar biasa meruahnya. Berkaitan dengan format acara yang sama, sangat berkaitan dengan sisi kreativitas dan sifat plagiator, yang sudah sejak lama dicerca oleh Yasraf Amir Piliang dalam pengantar tulisan pada buku “Kreativitas dan Humanitas” karya, Primadi Tabrani (2006) Kenapa Mentalitas plagiator yang lebih sering kita jumpai ketimbang mentalitas kreator?Dengan mudah kita dapat menemukan reality show uji keberanian yang menjiplak acara serupa di amerika. Sinetron remaja yang menjiplak sireal buatan Taiwan. Komedi situasi yang menjiplak serial buatan persahabatan di amerika…Bisa dipastikan lebih banyak lagi pengalaman menonton acara televisi yang menjiplak acara di luar egeri. Itulah sekelumit representasi kreativitas di kalangan professional yang mengaku pekerja seni. Kreativitasnya nyaris nol besar, lebih terlatih menjadi plagiator ketimbang kreator. (Yasraf, 2006) Jadi menurut saya, kalau ada yang mempersoalkan TV lokal itu kebanyakan meniru format TV nasional itu satu hal yang biasa terjadi, dan yang pasti format TV nasional itu juga bukan satu produk yang murni dikreasi oleh pekerja seni TV nasional. Justru TV lokal masih lebih menarik, karena mereka punya daya resistensi yang membentuk deferensiasi atau pembeda pada tataran muatan nilai lokalnya yang itu tidak ditangkap oleh TV nasional. TV Lokal lebih berfungsi untuk media informasi kejadian atau peristiwa, kebijakan Pemda atau Pemkot yang berkaitan dengan publik, seni budaya, ekonomi dan bisnis, serta seluruh potensi lokal yang ada. Dengan realitas di atas, maka posisi TATV di kota Solo dengan beberapa program acaranya yang banyak memuat nilai-nilai lokal dengan sendirinya menjadi penguat identitas lokal/ etnis Jawa. Hal ini terlihat dari beberapa mata acara berita yang diprogram oleh TATV justru “Kabar Wengi”, yang menggunakan bahasa Jawa Ngoko lebih diminati dari pada Surakarta Hari Ini yang berbahasa Indonesia. Atau bahkan dengan Trang Sandyakala yang menggunakan bahasa halus (Krama Inggil) Jawa. Demikian juga pada program-program hiburannya, seperti Ketoprak, Wayang Orang, Musik Keroncong dan Campursari juga menjadi andalan TATV. Bahkan dari beberapa dialog interaktif yang dibuat oleh TATV, Forum Solusi, Saran Dokter Anda, Bincang Wanita, paling tinggi ratingnya adalah Jagongan Sar Gedhe (Dialog interaktif Bahasa Jawa, tema politik sosial). Mungkin inilah salah satu kelebihan televisi lokal, ketika dia lahir di wilayah yang mempunyai potensi lokal sangat meruah dalam hal nilai berita dan budaya seperti Surakarta, pasti dengan mudah akan menemukan beberapa program pembeda dari televisi nasional yang dengan sendirinya secara tidak langsung menjadi satu bentuk resistensi terhadap budaya global yang digulirkan oleh televisi nasional dan transnasional. Atau kalau kita mau sedikit kritis dan apriori, bisa jadi justru apa yang dilakukan oleh TATV itu bukan bentuk resistensi tetapi justru pemodal TATV yang sadar akan konsep deferensiasi atau pembeda. Dengan kata lain, dengan memuat nilai-nilai lokal dalam programnya, bisa jadi nilai lokal ini telah menjadi satu komoditi ekonomi yang menguntungkan. Hal ini seperti pendapat John Fiske (1987) yang mengatakan bahwa komunitas budaya - termasuk televisi – yang dari situ budaya massa tersebar dalam dua ekonomi sekaligus ; ekonomi finansial dan ekonomi kultural. Ekonomi finansial terutama menaruh perhatian pada nilai tukar , sedangkan nilai ekonomi kultural terutama berfokus pada nilai guna-makna, kesenangan dan identitas kultural. Dua ekonomi beroperasi demi kepentingan pihak petarung yang saling berlawanan; ekonomi finansial cenderung mendukung kekuatan kerjasama dan homogenitas , sementara ekonomi kultural cenderung kekuatan perlawanan dan perbedaan. Perlawanan semiotik – yang di situ makna - makna dominan ditentang oleh makna –makna subordinat – punya efek terhadap peruntuhan upaya kapitalisme atas homogenitas ideologi. Dengan cara ini, menurut Fiske, kepemimpinan moral dan intelektual kelas dominan ditentang. (Storey, 2007) Mungkin dari uraian di atas, menjadi satu realitas yang patut diperhatikan berkaitan dengan muatan nilai lokal di televisi lokal, apakah muatan itu betul-betul kesadaran televisi lokal terhadap pembentukan idenitas etnis (lokal), atau seperti pendapat Fiske bahwa dua ekonomi seperti di atas yang membentuk program acara lokal. Ekonomi Finansial jelas untuk menopang keberlangsungan stasiun televisi yang setiap harinya memerlukan beaya yang cukup besar perlu ditopang oleh pemasukan yang luar biasa banyaknya, dan jalan yang paling riil untuk mendapatkan itu adalah lewat iklan yang masuk. Sedangkan ekonomi kultural yang cenderung dipandang sebagai kekuatan perlawanan dan perbedaan, apakah murni sudah dilakukan? Karena kalau mengingat berita yang ditayangkan oleh TATV sebetulnya muatan semiotika serta ideologinya juga tidak berbeda dengan televisi nasional. Dia hanya menjadi satu media untuk melegitimasi suatu kekuasaan, hanya bedanya TATV kebetulan ada yang berformat bahasa Jawa, jadi yang membedakan hanya pada penggunaan bahasa, tidak lebih! Meskipun ini tidak bisa dipungkiri menjadi faktor yang cukup signifikan terhadap jumlah pemirsa terkait dengan kedekatan emosional kulturalnya. Sedangkan produksi hiburannya, TATV memang berkesan lebih berfokus pada nilai guna-makna, kesenangan dan identitas kultural. Dari tanyangan hiburan yang diprogramkan bermuatan lokal seperti Wayang Orang, Ketoprak, Campursari, Musik Keroncong, dan Pecas Ndahe, TATV berkesan membentuk satu perlawanan identitas terhadap homogenitas budaya yang ditampilkan oleh TV Swasta nasional. Perlawanan, karena kota Solo yang dikenal dengan kota Budaya dan menjadi pusat kebudayaan Jawa di Indonesia mempunyai banyak seni dan budaya yang bernilai tinggi. Masyarakat Solo-Jogja yang sudah dikultivasi dengan kesadaran bahwa Solo-Jogja sebagai pusat kebudayaan dan munculnya kesenian yang adiluhung, tetapi dalam realitasnya, justru mereka sulit menemukan kesenian tersebut, baik di dalam realitas kehidupan mereka sehari-hari maupun dalam acara televisi. TATV memahami itu, maka dia membuat program acara yang banyak diminati mayoritas masyarakat Jawa tetapi tidak disentuh oleh TV nasonal, seperti; ketoprak, wayang orang, keroncong dan campursari. Tetapi benarkah itu riil dari kebijakan mereka, atau itu ada karena hanya sebuah keterbatasan finansial saja? Sudah disinggung di atas, bahwa TATV sebagai TV lokal yang kondisi kapitalnya sama dengan kebanyakan TV lokal lainnya, yaitu minimnya dana awal atau kurang tersedianya dana untuk membuat satu produksi hiburan? Kalau TATV punya dana yang melimpah apakah ada jaminan bahwa mereka tidak akan membuat program acara hiburan seperti TV nasional, sinetron (opera sabun) misalnya? Pernah sekali TATV menayangkan acara gosip selebritis yang diberi tajuk “Kembang Lambe”, dengan konsep hampir seperti berita gosip seperti TV nasional, Kembang Lambe menayangkan kehidupan seputar artis-artis lokal. Dalam realitas, seharusnya program acara ini bisa berkembang dan diterima oleh pemirsa Solo, karena tidak bisa dipungkiri banyak artis dan celebritis yang tinggal dan besar di Solo, seperti Jujuk, Nunung, Gogon, Mamik, Basuki (Srimulat), Waldjinah, Anjarany (Keroncong), Cak Diqin dan Didi Kempot (Campursari), Tia Afi, TeamLo, Padat Karya, Nyiur Melambai, dan sebagainya. Tetapi anehnya program ini tidak bisa berkembang dengan lancar, akhirnya setelah sepuluh episode (episode minimal siap tayang), program acara ini selesai. Mungkin ada kesadaran yang berbeda bagi pemirsa televisi, ketika mereka melihat berita selebritis di program gosip TV nasional mereka hanya melihat itu hanya sebagai sebuah hiburan atau informasi sekunder yang remeh temeh saja. Tetapi ketika melihat “Kembang Lambe”, siapa yang digosipkan, mereka sudah mengenal dengan baik, tidak hanya secara virtual tetapi juga verbal (fisik), sehingga ketika mereka harus membicarakan kejelekan artis tadi jadi kasihan, karena kenal secara personal. Atau dugaan yang kedua, justru masyarakat Solo sendiri ketika mereka kenal secara personal dan tahu kehidupan kesehariannya, membuat kesadaran mereka sulit terbangun kalau yang ada dalam “Kembang Lambe” ini sebetulnya adalah artis yang sudah nasional bahkan internasional. Mereka menganggap Jujuk, Nunung, Waldjinah, dan Didi Kempot sebagai orang biasa, tetangga mereka yang tidak etis untuk digunjingkan secara luas di media. Sejarah pertelevisian agaknya mulai bergerak untuk mulai melirik kembali TV Lokal, ketika sebagian masyarakat sadar bahwa televisi Nasional makin menjauh dari harapan untuk memberikan dukungan penuh proses berbangsa dan berbudaya. Setidaknya dengan TV Lokal yang sadar diri, pilihan lain dimungkinkan. Begitulah pertelevisian yang sehat, memungkinkan keberagaman dan menolak keseragaman. Sejarah telah membuktikan bagaimana sekurang-kurangnya tiga tahun awal ini, membuahkan hasil yang demokratis, yang menyertakan peran masyarakat. Hubungan antara TATV dan pemerintah serta masyarakat berlangsung dengan harmonis. Sekarang, agaknya tinggal membenahi dan menyadari bahwa selain pemerintah dan masyarakat, ada unsur lain, yaitu pasar. Rumusan dinamis ini yang akan membuat TATV memikat, menarik sekaligus mendidik, informatif sekaligus juga bisa informal. Masyarakat pula yang akhirnya harus dimenangkan, bukan hanya sebagai pemirsa, melainkan juga ketika bersuara. Hal ini terbukti dari penciptaan citra TATV yang terus dikembangkan untuk menangkap hati pemirsanya. TATV yang tumbuh dan dilahirkan dengan dana gereja (bahkan isu yang berkembang dapat dana dari gereja dari Jerman), pada awal siarannya sangat steril dengan agama lain. Para pegawai yang bekerja di dalam-nyapun juga kebanyakan dari umat gereja tertentu. Tetapi seiring berjalannya waktu, ketika TATV merasa perlu untuk mengembangkan diri dan perlu pengakuan dari masyarakat yang lebih luas, baik secara finansial maupun emosional, akhirnya, mereka mau membuka diri dengan agama lain. Baru satu tahun ini misalnya di TATV ada adzan Maghrib itupun karena ada telepon dari salah seorang anggota dewan yang meminta ada adzan maghrib dengan pertimbangan TATV sekarang sudah bukan milik golongan salah satu agama saja tetapi sudah menjadi TV masyarakat Solo. Sekarangpun dalam rekruitmen pegawai juga tidak memilih berdasarkan agama tetapi berdasarkan kualitas individu pelamarnya. Pada awalnya, TATV hanya menerima pegawai yang beragama Kristen tetapi sekarang sudah berubah, khususnya di wilayah redaksi pemberitaan, banyak wartawannya yang beragama non Kristen. Itu mungkin contoh nyata yang cukup membuahkan hasil yang demokratis, karena menyertakan peran masyarakat. Sisi positifnya kemudian akhirnya, banyak klien usaha yang mau memasang iklan produk atau kegiatannya di TATV, yang tentu saja ini akan sangat membantu finansial perusahaan.
Oleh: Satriana Didiek
SUMBER BACAAN Alex Sobur, 2001, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Burhan Bungin, 2006, Sosiologi Komunikasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Barker, Chris, , 2005 Cultural Studies; Teori dan Praktik, PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta. Geertz, Clifford. 1973, The interpretation of Cultures, New York, Basic Books Storey, Jhon, 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Penerbit Jalasutra, Bandung Primadi Tabrani, , 2006, Kreativitas dan Humanitas, Penerbit Jalasutra, Bandung. SUMBER BACAAN SEKUNDER www.atvli.com http://www.tatv.co.id/ http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.suaramerdeka.com/harian/0409/06/sm1sinejkt6a.jpg&imgrefurl=http://www.suaramerdeka.com/harian/0409/06/x_nas.html&h=63&w=100&sz=4&hl=id&start=4&um=1&tbnid=fiOnDGzLS53_eM:&tbnh=52&tbnw=82&prev=/images%3Fq%3Dte Anonim, Desember Mencekam, dalam http://www.kpi.go.id/index.php? etats = detail&nid=63, 2007

0 komentar:

Followers

 

kebovisual. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com