Friday, 5 September 2008

KAJIAN DESAIN TOYOTA KIJANG DAN PENGUATAN CITRA


Perubahan cepat dalam teknologi informasi telah merubah budaya sebagian besar masyarakat dunia, terutama yang tinggal di perkotaan. Masyarakat di seluruh dunia telah mampu melakukan transaksi ekonomi dan memperoleh informasi dalam waktu singkat berkat teknologi satelit dan komputer. Pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar mampu memperoleh kekuasaan melalui kekuatan militer dan pengaruh ekonomi. Bahkan perusahaan trans-nasional mampu menghasilkan budaya global melalui pasar komersiil global. Perubahan budaya lokal dan sosial akibat revolusi informasi ini tidak dapat dielakkan. Masyarakat perkotaan yang memiliki akses terhadap informasi merupakan kelompok masyarakat yang langsung terkena pengaruh budaya global. Akses informasi dapat diperoleh melalui media massa cetak maupun elektronik, internet, dan telepon. Masyarakat perkotaan dipengaruhi terutama melalui reproduksi ’meme’ yang dilakukan oleh media massa. Asal muasal konsep ‘meme’ sendiri, sebenarnya berawal dari kekecewaan Richard Dawkins terhadap rekan-rekannya ahli biologi yang mencoba mereduksi perilaku budaya menjadi kepentingan-kepentingan biologis organisme manusia. Bagi Dawkins, untuk mempelajari evolusi peradaban manusia, kita harus memulai dengan membuag konsep gene sebagai satu-satunya penyebab evolusi manusia. Sedangkan ‘meme’, menurut Richard Dawkins yang dikutip oleh Armahedi Mahzar (2006) adalah: Meme adalah sebuah replikator, yaitu mahkluk yang memperbanyak diri. Jika gene diturunkan melalui reproduksi biologis, meme diturunkan melalui proses pembelajaran budaya yaitu peniruan. Meme sebagai unit transmisi kultural, seperti gene sebagai unit transmisi biologis, mengalami mutasi, kombinasi, dan seleksi oleh lingkungan alam. Contoh-contoh yang diberikan oleh Richard Dawkins sebagai meme adalah lagu, gagasan, ucapan populer, busana, cara-cara membuat keramik dan arsitektur. Semua unsur budaya ini, menurut Dawkins, terletak pada otak manusia, seperti gene terletak di sel organisme. Konon, kata Dawkins, meme ini meloncat dari satu otak manusia ke otak manusia lainnya melalui proses peniruan. (Armahedi Mahzar, 2006; 57) Kembali ke dalam konteks persoalan, masyarakat konsumen Indonesia mutakhir tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya seperti shopping mall, industri waktu luang, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri kuliner, industri nasihat, industri gosip, kawasan huni mewah, apartemen, iklan barang-barang mewah dan merek asing, makanan instan (fast food), serta reproduksi dan transfer gaya hidup melalui iklan dan media televisi maupun cetak yang sudah sampai ke ruang-ruang kita yang paling pribadi. Hal ini terjadi di banyak masyarakat perkotaan Indonesia. Budaya global seperti di atas telah menggusur budaya serta nilai-nilai kearifan lokal Indonesia. Contoh untuk hal ini dapat kita lihat pada masyarakat keraton Indonesia sekarang. Dalam dua abad terakhir tata masyarakat kerajaan mulai memudar. Kedudukan bangsawan dikudeta oleh kaum pedagang dengan senjata teknologi dan uang. Legitimasi istana yang bersemboyan kawula gusti kini diinjak-injak oleh semangat individualisme, hak asasi, dan kemanusiaan. Mitos dan agama digeser sekularisme dan rasionalitas. Tata sosial kerajaan digantikan oleh nasionalisme. Akibat runtuhnya kerajaan yang mengayomi seniman-cendekiawan istana, berantakanlah kondisi kerja dan pola produksi seni-budaya istana. Contoh yang sangat nyata dari persoalan di atas adalah realitas sosial yang berkembang di kota Solo. Solo atau secara administratif pemerintahan disebut kotamadya Surakarta, adalah pusat budaya yang menjadi sumber dan barometer perkembangan seni budaya Jawa. Hal ini terkait dengan adanya dua keraton di Surakarta yaitu Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran. Sebagai sebuah kota yang berkembang dengan sistem perekonomian modern yang bertumpu pada sektor perdagangan dan industri, telah memunculkan permasalahan umum seperti kota-kota lainnya yaitu masalah urbanisasi yang akhirnya membentuk budayanya sendiri yaitu budaya urban. Budaya urban ini berkembang dari sikap perlawanan dalam bentuk sub-sub culture yang lahir. Sub-sub culture merupakan resistensi gaya hidup, yang dibagi menjadi dua, yaitu alternatif dan deferensiasi terhadap budaya massa. Disamping tentu saja terjerumusnya sebagain besar masyarakat Solo ke dalam budaya massa, hal ini terkait dengan rendahnya tingkat kesadaran masyarakat Solo terhadap politik hegemoni kapitalis barat. Perkembangan ini dilatar belakangi oleh sistem perekonomian kapitalis yang dianut kebijakan perekonomian Indonesia sekarang. Dari kedua sikap resistensi tersebut di atas, akhirnya memunculkan gaya hidup baru dalam sosial masyarakat Solo. Salah satu contoh resistensi gaya hidup yang terlihat dalam kehidupan sosial masyarakat Solo ini adalah sikap mereka terhadap tawaran produk-produk otomotif yang ada. Resistensi gaya hidup yang cenderung alternatif contohnya adalah muncul tren kelompok-kelompok biker yang ada di Solo yang justru tertarik pada jenis produk lama yang kemudian mereka modifikasi sendiri, misalnya Vespa, VW, dan lain sebagainya. Sedangkan sikap deferensiasi, yaitu sikap masyarakat yang sadar betul kepada realitas sosial tentang budaya massa dan konsumen di sekitar mereka, tetapi mereka enak saja mengikuti mainstrem besar itu, tetapi tidak mau larut di dalammnya, sehingga mereka merasa perlu pembeda dengan yang lainnya, misalnya club mobil Honda Jazz. Mekipun Honda Jazz ini sangat populer, tetapi mereka mau bersusah payah memberi tanda untuk pembeda dengan Honda Jazz lainnya yaitu dengan membuat modifikasi baik dalam cat maupun penambahan elemen estetik desain interior. Tulisan ini tidak akan membahas itu lebih dalam tetapi akan membahas produksi, distribusi dan pencitraan mobil Kijang dari Toyota yang diterima pasar Indonesia. Fenomena ini sangat menarik dan patut dikaji, karena menurut penulis masalah ini begitu luar biasa. Hal ini terkait dengan keberhasilan mereka menjadi mobil pilihan nomer satu bagi masyarakat Indoenesia, ini terbukti pada tahun 2006 saja telah terjual 93.109 unit. Kasus ini lebih menarik lagi kalau mengkomparasi dengan minat beli masyarakat negara lain. Di seluruh dunia penjualan mobil segmen terbanyak adalah pada penjualan sedan, tetapi di Indonesia adalah Kijang. Dari fenomena inilah dasar pemikiran penulis untuk mengkaji aspek-aspek apa saja yang membuat masyarakat Indonesia lebih memilih Kijang sebagai sarana transportasi mereka, karena hal ini membuktikan bahwa pasar di setiap negara punya ciri khas masing-masing, tinggal bagaimana para pemain menyesuaikan diri dengan pasar tersebut. Sejarah dan Perkembangan Desain Mobil Kijang Desain merupakan kata baru peng-Indonesiaan dari kata design (bahasa Inggris), istilah ini merupakan pengilmuan kata merancang yang penggunaannya dinilai terlalu umum dan kurang mewadahi aspek keilmuan secara formal. Sejalan dengan itu, untuk bidang arsitektur dan rekayasa, kerapkali pula menggunakan istilah rancang bangun.dalam kurun tiga puluh tahun (1971) sejak istilah ini dipergunakan di lingkungan akademis dan profesi , kata desain’ telah mantap sebagai satu istilah budaya yang melingkupi berbagai aspek kegiatan di masyarakat luas. Perkembangan ruang lingkup desain ini seperti apa yang ditulis oleh Widagdo (1982), yaitu salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud , serta merupakan produk dari nilai –nilai yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Sebagai produk kebudayaan , disain tidak terlepas dari fonemena kebudayaan yang lain, selain sistem nilai yang bersifat abstrak dan spiritual, disain juga selalu terkait dengan sistem ekonomi dan sistem sosial. Sedangkan asal kata desain sendiri menurut Agus Sachari adalah: Asal kata desain secara estimologis berasal dari kata designo (Itali) yang artinya gambar. Kata ini kemudian diberi makna baru dalam bahasa Inggris pada abad ke 17, yang dipergunakan untuk membentuk school of design tahun 1836. Makna baru tersebut dalam praktek kerap kali semakna dengan craft (kerajinan), kemudian atas jasa Ruskin dan Morris,- dua tokoh gerakan anti industri di Inggris pada abad ke-19 , kata ‘desain’ diberi bobot sebagai art and craft, yaitu paduan antara seni dan keterampilan. (Agus Sachari dan Yan Yan Sunarya, 2002; 2) Kembali kepersoalan Toyota Kijang, kendaraan ini didesain sebagai kendaraan niaga dan keluarga, buatan Toyota dan terpopuler di kelasnya. Kijang hadir di Indonesia sejak tahun 1977 dan saat ini merupakan model Toyota yang paling laku di negara tersebut. Kini mobil ini dapat ditemukan dengan mudah di seluruh pelosok Indonesia. Kesuksesan Kijang telah mengakibatkan munculnya mobil-mobil sejenis yang meniru konsepnya (terutama dari segi nama), misalnya Isuzu Panther dan Mitsubishi Kuda. Selain di Indonesia, sebelum hadirnya generasi "Innova", Kijang juga dijual di Malaysia dengan nama "Unser". Dari generasi pertama tahun 1977 sampai generasi terakhir terakhir (Innova) telah tercatat sebagai mobil yang paling laris di Indonesia, bahkan tahun 2003 saja telah terjual 1.000.000 unit. Untuk lebih detailnya, penulis telah mengumpulkan dari berbagai sumber dalam rangka menyusun sejarah mobil Kijang, seperti di bawah ini. Generasi I (1977-1980) Kijang pertama kali muncul pada tahun 1977. Saat diluncurkan, ada keraguan dari perancangnya sendiri apakah Kijang bisa diterima pasar karena saat itu Mitsubishi Colt masih dominan. Kijang ternyata menjadi populer. Generasi I merupakan kendaraan pickup dan berbentuk kotak. Model ini sering dijuluki "Kijang Buaya" karena kap mesinnya yang dapat dibuka sampai ke samping. Kijang generasi ini diproduksi hingga tahun 1980. Pada tahun pertama peluncurannya, produksi Kijang hanya 1.168 unit. Tahun berikutnya, 1978, jumlahnya meningkat menjadi 4.624 unit. Setelah itu, jumlah produksi Kijang terus meningkat dari tahun ke tahun. Kehadiran Kijang sebagai kendaraan multifungsi atau serbaguna yang mudah perawatannya itu membuat permintaan terus meningkat. Toyota Kijang lahir sebagai kendaraan dengan konsep Basic Utility Vehicle. Cocok sebagai kendaraan serba guna dan mudah untuk dirawat. Sejalan dengan regulasi pemerintah Indonesia yang menerapkan konsep pembangunan ekonomi melalui pengembangan motorisasi dan otomotif di Indonesia khususnya melalui konsep Kendaraan Bermotor Niaga Serbaguna (KBNS). Diperkenalkan pertama kali pada tahun 1977, Kijang ini diproduksi hingga 1168 unit yang berkembang pada tahun berikutnya menjadi 4624 unit dan terus berkembang pada tahun-tahun selanjutnya pada masanya. Bentuknya, mobil dengan kode KF10 ini nyaris berbentuk kotak buah yang ditempeli 4 buah roda dengan jendela dari samping dari terpal plastik. Kijang Generasi I ini dikenal masyarakat sebagai Kijang Buaya bukan karena dipakai untuk mengangkut kulit buaya. Namun model buka-tutup kap mesin depan pada hidung mobil (bonnet) yang mirip dengan mulut buaya bila kap mesin depan dibuka. Rancangan awal kendaraan ini benar benar seadanya. Jangan bayangkan pintu elektrik type 807 yang lazim dikenal pada mobil-mobil sekarang yang bisa dibuka dengan satu sentuhan tombol. Kijang ini memiliki pintu yang seolah-olah ditempelkan begitu saja dengan badannya dengan engsel pintu yang mirip engsel pintu rumah yang berbunyi mendecit bila dibuka.Terlebih lagi pada saat itu, pintu mobil tidak dilengkapi kunci terlebih-lebih alarm sebagai sistem keamanannya meski pada generasi selanjutnya yang sudah dimodifikasi, dilengkapi dengan kunci pintu serta engkol pintu yang masih mirip pintu rumah serta kaca pada pintu mobil. Posisi pengemudi pada kijang ini terletak terlalu ketengah dengan tongkat perseneling untuk transmisi mesin yang sulit dijangkau. Mesin yang digunakan menggunakan mesin Corolla pada jamannya dengan tipe 3k berkapasitas 1200 cc dengan transmisi 4 percepatan. Selain keluar dengan tipe mobil bak terbuka (pick up), mobil kijang ini dimodifikasi menjadi mobil penumpang terutama dilakukan oleh perusahaan perusahaan karoseri mobil seperti halnya mobil mobil niaga pada masa itu dimana rancangan bodi tidak ditangani pabriknya langsung. Sebagai contoh, mobil ini digunakan sebagai mobil penumpang angkutan umum di kota Balikpapan pada tahun-tahun 1980-1986. Generasi II (1981-1985) Generasi II mulai dijual pada September 1981. Bentuk model ini tidak terlalu berbeda dibandingkan dengan generasi sebelumnya, namun memiliki beberapa perubahan, di antaranya adalah peningkatan kapasitas silinder mesin menjadi 1.300 cc (naik 100 cc). Kapasitas ini kemudian dinaikkan lagi hingga 1.500 cc. Mobil ini, walaupun disebut-sebut memiliki banyak perubahan, bentuknya masih ada kesamaan dengan kijang buaya. Lampu mobil masih bulat di samping depan kanan-kiri dan gril masih sederhana dengan tulisan TOYOTA pada bagian depan. Garis pada bonnet juga masih simpel dan curam. Meski bukaan pada tutup kap mesin tidak lagi bukaan penuh hingga bagian tepi hidung mobil (bonnet) seperti halnya kijang sebelumnya. Mobil dengan kode rangka KF20 ini akrab sebagai Doyok (sebutan bagi sebuah serial kartun bertokoh Doyok pada harian pos kota) sehingga dikenal juga sebagai Kijang Doyok. Pintu lebih manis dengan dilengkapi kaca dengan engsel tidak lagi mirip engsel pintu rumah dan dilengkapi kunci pada tahun 1982. Dengan mesin 4K berkapasitas 1300 cc, transmisi masih 4 percepatan. Suspensi masih double wishbone dengan per daun pada bagian depan dan per daun under axle (dibawah gardan) pada bagian belakang mobil. Perjalanan mobil ini juga diiringi perkembangan baru seperti halnya disempurnakannya transmisi dan diferential sekaligus menambah booster rem pada tahun 1983. Toyota juga dikenal dalam perencanaan produknya sampai 5 tahun berikutnya yang dapat dilihat melalui pengembangan mobil ini. Pada tahun 1984 mengadakan perubahan pada gril dan bumper. Sampai tahun 1985, permintaan mobil ini tetap tinggi, sampai akhirnya Toyota melakukan perubahan pada mesin yang kemudian memakai tipe 5K dengan kapasitas 1500 cc namun irit dalam pemakaian. Generasi III (1986-1996) Pada tahun 1986 model generasi ketiga dilempar ke pasaran. Kijang generasi ini bentuknya lebih melengkung pada lekukannya sehingga tampak lebih modern. Model ini hingga saat ini masih banyak digunakan di jalanan di Indonesia meski tidak lagi diproduksi. Pada generasi ini, konsep kijang sebagai kendaraan angkut mulai bergeser sebagai kendaraan penumpang sekalipun banyak Kijang generasi sebelumnya juga dimodifikasi sebagai kendaraan penumpang. Pada masa ini, bisa dikatakan sebagai generasi kejayaan Kijang sebagai mobil penumpang, terutama sebelum banyak mobil penumpang Built Up impor meramaikan pasar kendaraan di Indonesia serta puncak dominasi Toyota atas model-model kuat seperti Mitsubishi Colt L300 dan minibus tanpa bonnet lainnya seperti Suzuki Carry dan Daihatsu Zebra dimana Kijang menjadi pilihan kuat konsumen saat itu. Toyota mengeluarkan dua tipe Kijang pada generasi ini yakni tipe Kijang Super (1986-1992) dan Kijang Grand (1992-1996) dengan memiliki life cycle cukup panjang (hampir satu dekade) dibandingkan generasi lalu. Desain mobil ini memiliki bentuk lebih manis dan halus dibandingkan generasi lalu yang kaku mirip kotak sabun. Teknologi full pressed body diperkenalkan untuk menekan penggunaan dempul dalam proses pembuatannya hingga 2-5 kg dempul per mobil. Mesin masih memakai tipe 5K namun memiliki daya kuda (horse power) yang lebih tinggi yakni 63 hp dari sebelumnya 61 hp. Transmisi menggunakan 5 percepatan, yang sebelumnya memakai 4 percepatan. Setelah Agustus 1992, Toyota memasuki generasi perbaikan bodi mobil yang disebut sebagai Toyota Original Body. Sebuah proses pembuatan bodi mobil dengan mesin press dan metode las titik. Sampai saat ini, bisa dikatakan satu-satunya Kijang yang bebas dempul. Sementara untuk versi Grand terdapat berbagai perubahan khususnya pada lampu depan, gril dan penambahan double blower juga ditambahkan power steering pada kemudi yang meringankan pengemudi. Dan sampai saat ini, Kijang jenis ini (Super maupun Grand) masih banyak di pasaran konsumen dan masih dihargai mahal. Generasi IV (1997-2004) Setelah sepuluh tahun bertahan dengan rancangan generasi ketiga, Kijang meluncurkan model berikutnya dengan perubahan pada eksterior dan interiornya yang lebih aerodinamis. Model ini akrab dipanggil "Kijang Kapsul". Mulai generasi keempat kijang ini, dominasi Jepang semakin besar. Kalau sebelumnya Toyota Astra Motor memanfaatkan perakitan bodi mobil banyak menggunakan karoseri. Pada generasi ini sudah dikatakan menyiratkan mobil yang sesungguhnya. Desainnya membulat seperti kapsul dan lebih aerodinamis dan menjadi loncatan desain pada masanya. Pada kijang yang dikenal sebagai kijang baru ini, Toyota mengeluarkan dua tipe mesin yakni Mesin bensin 1800cc (tipe 7K) seperti generasi-generasi sebelumnya dan Mesin diesel 2500cc (tipe 2L) yang membuat persaingan dengan Isuzu Panther untuk mobil keluarga bermesin diesel yang saat itu mendominasi pasaran. Pada Kijang versi tahun 1997-2000, mesin bensin menggunakan karburator, baru pada akhir tahun 2000 tersedia mesin bensin dengan sistem injeksi elektronik, Electronic Fuel Injection(EFI). Ada dua pilihan untuk mesin bensin EFI, yaitu 7K-E dengan kapasitas 1800cc dan 1RZ-E dengan kapasitas 2000 cc. Meskipun mesin 1RZ-E secara teknologi lebih canggih jika dibandingkan dengan mesin 7K-E, namun mesin bensin 2000cc ini kurang laku di pasaran indonesia karena bahan bakarnya dinilai lebih boros dibandingkan dengan tipe 7K-E. Dan terakhir pada generasi ini muncul New Kijang dengan merubah desain lampu dan seatbelt (sabuk pengaman) pada jok penumpang bagian tengah. Selebihnya hampir sama dengan sebelumnya. Generasi V (2004-saat ini) Kijang kembali diperbaharui pada tahun 2004 dan dijual dengan nama "Kijang Innova". Selain di Indonesia, model ini juga dijual di luar negeri dengan nama "Innova" (tanpa "Kijang"). Model ini mengalami perubahan yang cukup besar dibandingkan dengan model sebelumnya. Jika konsep awal Kijang generasi pertama adalah basic utility vehicles atau kendaraan sederhana, maka Kijang generasi V ini bukanlah kendaraan sederhana lagi namun dapat dikategorikan sebagai kendaraan mewah. Bentuknya sudah jauh lebih modern terutama bagian depannya yang tidak lagi menampakkan sisa-sisa bentuk lekukan tajam seperti pada model-model sebelumnya. Kijang ini dikeluarkan oleh Toyota Astra Motor pada akhir tahun 2004. Mobil ini keluar dengan model mobil keluarga masa kini dengan jenis MPV (Multi Purposes Vehicle) masa kini dengan bodi yang lebih aerodinamis dibandingkan generasi sebelumnya dengan kenyamanan mobil sedan. Posisi pengendara cukup pas, letak shift knob terjangkau dan panel instrumen yang user friendly. Menggunakan Mesin VVT-i 2000 cc dengan type 1TR-FE 16 katup DOHC menggantikan tipe K/RZ pada generasi sebelumnya. Dirancang dengan sistem Direct Ignition System (DIS) dan penerapan teknologi pedal gas tanpa kabel atau throttle Control System-inteligent). Posisi mesin membujur dengan gerak roda belakang (rear wheel system). Menggunakan suspensi independen double wishbone dengan 4 per keong (coil spring) ditampah lateral rod rigid axle pada bagian belakang yang meredam guncangan senyaman sedan. Sasis masih menggunakan ladder bar namun beban suspensi didistribusikan secara merata keseluruh bodi mobil sehingga body roll dan pitching semakin kecil atau sudut geometri suspensi lebih bagus ketimbang kijang sebelumnya karena suspensi jatuh pada titik yang pas antara panjang dan lebar mobil. Koreksi kemudi pada tikungan cukup akurat dan stabilitas arah yang lebih bagus karena menggunakan model rack-and-pinion dengan engine speed sensing power steering sehingga mobil mampu dikendalikan dalam kecepatan 120 km/j pada tikungan S maupun belokan memutar 270 derajat. Transmisi menggunakan transmisi otomatis ataupun transmisi manual. Dari uraian di atas sangat terlihat sekali bahwa perkembangan desain sebuah mobil tidak hanya pada bentuknya yang bisa mencitrakan sesuatu tetapi juga diiringi oleh beberapa aspek lainnya yaitu perkembangan teknologi otomatif itu sendiri. Tetapi kalau mau mencermati sebetulnya dari dua aspek tersebut di atas dapat dipilah menjadi dua bagian yaitu pertama masalah pencitraan yang berkaitan erat dengan status sosial tertentu bagi pemakaianya juga masalah kenyamanan dan keamanan dalam mengendara. Pencitraan ditulis pertama, karena menurut penulis bahwa aspek pencitraan ini sebetulnya lebih dominan dari pada fungsinya. Hal ini seperti apa yang dikutip oleh Agus Sachari (2002) dari YB. Mangun Wijaya. Citra merupakan dimensi yang lebih tinggi dibanding guna, dimensi ini bersumber pada jatidiri yang mendalam dan berkualitas. Citra mewartakan mental dan jiwa para pemilik dan pembuatnya sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa citra adalah sebuah pribadi yang terwujud pada karya seni, arsitektur atau karya desain lainnya. (Agus Sachari, 2002;45) Maka seorang perancang mobil tidak akan mengalami kesulitan ketika merumuskan aspek–aspek teknis kendaraan rancangannnya. Namun , ketika harus merumuskan gaya mobil yang sesuai dengan selera masyarakat, gaya mobil itu harus mengandung imaji dan membangun citra masyarakat agar memiliki pasar yang tinggi. Mobil, Pencitraan, dan Gaya Hidup Gaya hidup selalu berkaitan dengan upaya membuat diri eksis dalam cara tertentu dan berbeda dengan yang lain. Di sini ada prilaku konsumsi yang merupakan imbas posmodern, dimana orang berada dalam kondisi selalu dahaga, dan tak terpuaskan. Suatu pola konsumsi yang dengan cerdik dibangkitkan oleh produsen, melalui pencitraan yang menjadi titik sentral sebagai perumus hubungan sosial. Citra (image) kemudian menjadi bahasa komunikasi sosial di dalam masyarakat konsumen, yang di dalamnya telah diciptakan klasifikasi dan perbedaan sosial menurut kelas, status, dan selera. Dalam pemasaran menurut Audifax (2006), kita akan mengenal ini ketika mendalami masalah segmentasi. Citra tersebut dapat dicabut dan dicangkokkan di tempat lain (eklektik, hibrid, kitsch) yang merupakan strategi pencitraan dari budaya visual posmodern. Di sini masyarakat didekonstruksi secara sosial keranjingan membeli citra ketimbang produk. Citra-citra yang mampu membuatnya tampak berbeda mengalami kebernilaian dalam keberbedaan itu. Dalam pemasaran ini dikonseptualisasi dalam strategi posisioning dan deferensiasi. (Audifax, 2006; 109) Masih menurut Audifax (2006), tatanan sosial modern membutuhkan perlengkapan yang kompleks berupa deferensiasi dan pelaksanaannya secara cermat. Identitas sosial ini pertama, disampaikan dengan menggunakan istilah pilihan-pilihan (choice). Sikap, nilai dan cita rasa yang merupakan karakteristik anggota kelompok sosial baru ini , diidentifikasi dengan sendirinya sebagai hal yang penting. Sehingga dapat diterima bahwa citarasa seseorang merupakan tanggung jawab terhadap penilaian orang lain. Kedua, pilihan-pilihan tersebut merupakan pilihan kultural, atau lebih persisnya, terfokus pada wilayah-wilayah kehidupan yang merupakan bagian dari aktivitas waktu luang (leisure) atau konsumsi. Sedangkan yang ketiga, betapapun personalnya nilai-nilai dan cita rasa yang diekspresikan, mereka jatuh ke dalam pola-pola khusus yang akhirnya menghubungkan mereka sendiri dengan karakter sosio-struktural lainnya. Pada titik ini, menjadi masuk akal ketika permintaan akan kebutuhan (need) itu menjelma menjadi keinginan (want). Sehingga tanpa sadar masyarakat modern yang telah dimassakan ini telah menjadi masyarakat konsumen. Hal ini adalah strategi kebudayaan dan kapitalis barat yang bertujuan untuk tetap melanggengkan posisi mereka agar tetap di atas. Kalau merujuk teori Gramsci yaitu konsep hegemoni, hal tersebut merupakan usaha hegemoni barat terhadap non barat atau dipersempit lagi adalah kaum kapital (produsen) dengan masyarakat (konsumen), seperti yang dikutip Dominic Strinati dari Simon Ransome (1992). Gramsci menggunakan konsep hegemoni untuk menerangkan berbagai macam cara kontrol sosial bagi kelompok sosial yang dominan. Dia membedakan antara pengendalian koersif yang diwujudkan melalui kekuatan langsung atau ancaman kekuatan, dengan pengendalian konsensual yang muncul ketika individu-individu ”secara sengaja” atau ”secara sukarela” mengasimilasikan pandangan dunia atau hegemoni kelompok dominan tersebut; sebuah asimilasi yang memungkinkan kelompok itu untuk bersifat hegemonik. (Ransome, 1992;150) Hal ini sejalan dengan pemikiran Adorno yang dikutip oleh Dominic Strinati (2004) tentang fungsi kapitalisme. Fungsi kapitalisme adalah untuk menstadarisasi komoditas. Standarisasi melibatkan petukaran bagian-bagian bersama-sama dengan individualisasi semu. Bagian dari jenis-jenis mobil dapat dipertukarkan dengan bagian-bagian mobil lain berdasarkan standarisasi, sementara pengunaan dgaya atau individualisasi semu-seperti penambahan sirip belakang pada mobil Cadillac-membedakan mobil-mobil anatar satu dengan yang lain , serta menyembunyikan kenytaan bahwa standarisasi tengah terjadi. (Dominic Strinati, 2004; 78) Standarisasi, konsep politik hegemoni serta pergeseran nilai dari kebutuhan menjadi keinginan yang dibangun oleh kapitalisme telah membentuk masyarakat modern menuju masayarakat masssa yang sangat konsumtif. Dalam menilai sebuah makna produkpun juga telah bergeser, tak terkecuali mobil. Mobil yang fungsi awalnya hanya merupakan alat angkut yang tidak ada bedanya dengan gerobak telah menjadi satu penanda pencitraan kelas sosial bagi masyarakat modern sekarang, tak terkecuali masyarakat Solo. Mobil berbagai merk dan jenisnya ini ternyata fungsi dan fasilitas serta unsur yang berhubungan dengan teknologi otomotifnya tidaklah jauh berbeda. Justru yang membuat mobil ini berbeda terletak pada desain bentuk dan interiornya. Desain bentuk inilah yang mampu membuat pencitraan bagi klasifikasi kelas sosial bagi pemakaianya, disamping tentu saja branded produknya. Standarisasi ini dalam prakteknya juga mempengaruhi estetika, sehingga dalam perkembangan estetika barat telah mampu membelah estetika itu menjadi beberapa bagian sesuai dengan standarisasinya, yang tentu saja hal ini terkait kuat dengan kapital. Dari standarisasi inilah akhirnya muncul kelas-kelas sosial sesuai dengan standarisasi segmennya. Misalnya mobil sedan BMW tentu kelasnya sangat berbeda dengan mobil Suzuki Carry. Kalau BMW segmennya adalah kaum kelas atas, sedangkan Suzuki Carry untuk segmen kelas menengah-bawah. Akhirnya terjawab sudah kenapa Toyota Kijang telah mampu menjadi produk otomotif yang tingkat penjualannya tertinggi di Indonesia. Hal ini tak lepas dari keberangkatan dari desain perancangan awalnya yang lebih mengutamakan fungsi daripada sibuk membangun pencitraannya. Model Kijang yang berfungsi ganda, yaitu sebagai kendaraan niaga dan keluarga. Apalagi ditambah dengan interiornya yang lapang membuat minat masyarakat untuk membelinya semakin meningkat. Hal ini terkait dengan sistem kekeraban dan hubungan sosial antar individu dalam budaya agraris masyarakat Indonesia yang cukup erat, logikanya adalah semakin banyak yang bisa naik semakin banyak pula relasi sosial yang terjalin. Realita ini sangat berbeda dengan konsep perancangan mobil sedan misalnya, konsep mobil sedan ini jelas sekali menggunakan estetika dan latar belakang budaya barat yang bersifat individualistik. Kalau ada hubungan atau relasi sosialnya hanya terbatas pada relasi-relasi kecil, termasuk unit sosial terkecil yaitu anggota keluarga.
Oleh: Satriana Didiek
DAFTAR PUSTAKA Agus Sachari dan Yan Yan Sunarya, Sejarah dan Perkembangan Desain dan Dunia Kesenirupaan di Indonesia, Bandung, ITB, 2002 Agus Sachari, Estetika Makna, Simbol dan Daya, Bandung, ITB, 2002 Audifax, Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas, Bandung, Jalasutra, 2006 Burhan Bungin, Prof. Dr, Sosiologi Komunikasi, Jakarta, Kencana, 2006 Dominic Strinati, Popular Culture; Pengantar Menuju Budaya Populer, Yogyakarta, Bentang, 1995 Mike Featherstone, Posmodernisme dan Budaya Konsumen, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005 NN, ------------------www.wikipedia.com/kijang/

0 komentar:

Followers

 

kebovisual. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com